Mohon tunggu...
Ade Suerani
Ade Suerani Mohon Tunggu... -

Orang Muna, tinggal di Kendari Sultra.\r\nklik juga :\r\nadetentangotda.wordpress.com\r\nadesuerani.wordpress.com\r\nadekendari.blogdetik.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan Parlemen Sultra

19 Februari 2010   13:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:50 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

5 Oktober 2009, tepat berakhirnya masa tugas anggota parlemen Sultra periode 2004-2009. Seiring dengan itu, diresmikan dengan pengucapan sumpah/janji anggota periode 2009 – 2014.

Menarik dan patut diapresiasi keterwakilan salah seorang perempuan di periode ini pertama sepanjang sejarah pemilu reformasi meraih perolehan suara melampaui nilai bilangan pembagi pemilih (BPP) yang ditetapkan.  Adalah Hj. Suryani Imran, anggota dari Partai Demokrat Dapil Kota Kendari dan Konawe Selatan memperoleh 25.075 suara sedang angka BPP yang ditetapkan KPU Provinsi sejumlah 23.296 suara.

Namun, kebijakan nasional yang mengharuskan 30 % keterwakilan perempuan setiap Parpol dalam mendaftarkan calegnya di KPU tidak berimplikasi signifikan di parlemen Sultra.

Sebagai catatan, isu keterwakilan 30% sudah terakomodir sejak Pemilu 2004, namun Parlemen Sultra hanya mampu memberikan 4 kursi untuk perempuan atau kurang dari 10%. Klausul itu kemudian dipertegas dibeberapa persyaratan di Pemilu 2009 mulai dari pengajuan calon oleh Parpol hingga keterwakilannya yang dipersyaratkan. Ternyata kenaikannya tidak begitu menggembirakan yang hanya 7 (tujuh) orang atau kurang dari 16%.

Ketujuh srikandi Sultra patut kiranya diketahui publik Sultra secara luas. Mereka adalah Hj. Suryani Imran, SE., (Dapil I – Demokrat), Nasrawaty Djufri, B.Sc., (Dapil II – PAN), Hj. Siti Arfah Panudariama (Dapil II – Golkar), Nirna Lachmuddin, S.Pd., (Dapil II – PBB), Ir. Hj. Masyhura (Dapil IV – PAN), Wa Ode Hasniwati (Dapil IV – PKPI), dan Rahmawati Badala (Dapil V – PAN).

Dari Masa ke Masa
Catatan saya, sejak terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara 27 April 1964 yang semula bernama Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Tenggara, untuk periode 1964 – 1967 dari 27 kursi, unsur perempuan parlemen Sultra hanya memperoleh 1 kursi yang berasal dari Golongan Karya Wanita (bukan partai politik) diwakili Josien Masie Taolo.

Pada 30 Januari 1967 Mendagri mengangkat satu-satunya (lagi) perempuan dari 31 kursi Wa Ode Siti Halidjah (Golongan Karya Wanita) untuk periode 1967 – 1971.

Di periode 1971 – 1977, hasil Pemilu 1971 diresmikan 40 (empat puluh) anggota Parlemen Sultra. 15% (6 kursi) berhasil diisi kelompok perempuan yang semuanya berasal dari Golongan Karya. Mereka adalah 1) Ny. Saartje Sophia L. W. ; 2) Ny. Wa Taana La Amba; 3) Ny. St. Aminah Suripatty; 4) Wa Ode St. Halidjah; 5) Ny. St. Aminah Harahap, dan 6) Ny. Haryati Soetriadji.

Keterwakilan perempuan mengalami sedikit kenaikan dari 15% menjadi 17,5% di periode 1977 – 1982 hasil Pemilu 1977. Dari 40 kursi, 7 kursi diisi kaum perempuan yaitu 1) Ny. Putiri Dg. Tommi, BA; 2) Mukminah Rachman; 3) Ny. Ros Lawolio; 4) Paulina Razak; 5) Ny. Sukinah Toding Allu; 6) Ny. Wa Ode Mustari Rauf, BA; dan 7) Ny. Siti Aminah Suripaty. Semuanya dari Golongan Karya.

Pemilu 1982 menghasilkan 40 orang anggota parlemen Sultra untuk periode 1982 – 1987. Berangsur-angsur keterwakilan perempuan mengalami kenaikan signifikan yaitu sebesar 25%. 10 Orang yang dilantik mewakili unsur perempuan dari Golongan Karya adalah 1) HW. Rosminah Silondae; 2) Ny. Putiri Dg. Tommy, BA; 3) Ny. Dra. Wa Ode Mustari Rauf; 4) Ny. Paulina Razak; 5) Dra. Wa Ode Asnah Ganiu; 6) Ny. Paulina Toding Pali; 7) Ny. Wa Taana La Amba; 8.) Ny. H. Syamsianah Muchtar; 9) Ny. Sutantirah Darisno; dan 10) Ny. Sitti Aminah Harahap.

Periode 1987 – 1992, saya kehilangan data (arsip) sehingga tidak dapat disampaikan.

Komposisi keanggotaan di periode 1992 – 1997 berdasarkan hasil Pemilu 1992, 10 kursi berhasil diduduki perempuan dari 45 kursi yang dialokasikan. Artinya hanya 22 %, menurun dari periode sebelumnya. Kesepuluh perempuan parlemen tersebut adalah 1) Ny. H. Mieke Anas Bunggasi; 2) Dra. Hj. Nurhayati R.; 3) Ny. H. W. Rosminah Silondae; 4) Ny. Dra. Wa Ode Mustari Rauf; 5) Ny. Hj. R. St. Maryam A. Sugianto; 6) Ny. Theresia Sri Rahayu; 7) Ny. Hj. Putiri Tommy, BA; 8.) Ny. Supiah La Aowu; 9) Ny. Hj. Sigowa Arung Karim Aburaera, dan 10) Ny. Syamsiah B. Lawele.

Periode 1997 – 1999, dari 45 kursi yang tersedia, unsur perempuan memperoleh 15,6% (7 kursi) yang semuanya berasal dari Golongan Karya, yaitu 1) Ny. Hj. St. Maryam Arifin Sugianto; 2) Ny. Hj. Mieke Anas Bunggasi; 3) Hj. Wilhemina Rosmina Silondae; 4) Wa Ode Mufliha Maane Bolu; 5) Ny. Hj. Putiri Tommy, BA, 6) Hj. Sigowa Arung karim Aburaera; dan 7) Nanik Puji Rahayu.

Pasca orde baru seiring masuknya era reformasi muncul sejumlah partai politik. Pemilu pertama reformasi dengan sistem multi partai ini hanya menempatkan kurang dari 10% (4 kursi) dari 45 kursi yang ada. Periode 1999 – 2004 ini diisi oleh 1) Hj. Siti Haola Nurmala Mokodompit; 2) Ny. Hj. Wa ode Mufliha Maane Bolu; dan 3) Hj. Andi Besse Sao-Sao, SH, yang semuanya dari Partai Golkar.

Pemilu kali kedua di era reformasi (2004) juga tidak jauh berbeda, hanya menempatkan 4 perempuan di parlemen Sultra, yaitu 1) Hj. Mieke Anas Bunggasi (Golkar); 2) Ir. Hj. Masyhura (PAN); 3) Hj. Nuraeni Andry Djufri (PAN); dan 4) Yoni Yokoyama Sinapoy, SH. (Golkar).

Kehadiran sejarah kiranya menjadi refleksi evaluatif dimasa-masa selanjutnya. Berapapun kuantitas (kuota) yang terakomodir, kualitas pada akhirnya yang diharapkan.

Kuota, Kebijakan Afirmatif dan Capaian
Tidak diperoleh informasi secara pasti, di awal-awal kemerdekaan ataupun sejak terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara alasan mengapa kuota itu dipandang perlu. 20 Tahun terakhir, muncul gerakan sosial yang menuntut kebijakan afirmatif sebagai refleksi pengalaman sejarah yang pahit saat kaum perempuan dan minoritas mengalami diskriminasi sehingga mereka terabaikan dan tersingkir dari kehidupan publik.

Untuk itulah dipandang perlu keterwakilan agar isu tentang perempuan dapat menjadi diskusi bersama (laki-laki dan perempuan) karena Indonesia juga dihadiri oleh para perempuan dan kelompok minoritas.
Kuota sebenarnya bukan menjadi tujuan. Tetapi bagaimana menggunakan kuota dan afirmatif sebagai instrumen mencapai tujuan dan merespon persoalan masyarakat.

Ditingkat nasional, capaian kinerja perempuan parlemen dalam lingkup makro dan mikro yang bisa dijadikan aset bagi basis dukungan publik untuk gerakan afirmatif patut kiranya diapresiasi. Lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah contoh terobosan positif dari peran yang telah dimainkan perempuan parlemen pusat.

Saat ini sudah teragendakan di badan legislasi revisi UU Kesehatan dan UU Kependudukan dengan rumusan lebih progresif serta agenda untuk revisi UU Perkawinan dan revisi KUHP.

Ditingkat lokal di Sulawesi Tenggara, catatan saya belum banyak produk dewan lebih sensitif gender selain dibentuknya Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana yang baru setahun usianya.

Tentu harapan-harapan itu akan terus ada. Beberapa daerah telah melahirkan Perda PKDRT, Perda Pengarusutamaan Gender dll.

Memainkan Peran
Tidak banyak yang bisa dilakukan seorang anggota parlemen selain sumbangan pemikiran, ide dan gagasannya. Ide yang rasional, ril, dan berdasar, bukan tidak mungkin akan diakomodir bahkan berpeluang besar menjadi pasal atau ayat dalam sebuah produk parlemen.

Berperan aktif di tiga fungsi parlemen adalah yang bisa dilakukan perempuan parlemen untuk menggolkan isu-isu perempuan. Rapat Gabungan Komisi, Rapat Panitia Khusus dan Rapat Panitia Anggaran adalah momen yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya perempuan parlemen agar apa yang menjadi cita-citanya dapat disampaikan secara lugas dan komprehensif.

Dalam hal fungsi anggaran, perempuan parlemen Sultra sedianya bisa memerankannya agar bagaimana porsi anggaran bisa diperuntukan untuk sebuah kebijakan pro perempuan. Misalnya, pada Dinas kesehatan, pemeriksaan dan persalinan gratis bagi ibu hami. Ataupun untuk Dinas Pendidikan, dianggarkannya pelaksanaan diklat untuk meningkatkan keterampilan khusus untuk perempuan agar bisa membuka usaha industri kreatif, misalnya. Bantuan modal usaha bagi kelompok-kelompok pekerja perempuan. Dan banyak lagi yang bisa digagas.

Di fungsi legislasi, perempuan parlemen dapat menggunakan hak prakarsanya untuk mengajukan raperda tentang PKDRT, misalnya. Mengkritisi setiap pengajuan raperda eksekutif apabila dipandang bias jender atau merugikan kaum perempuan. Atau apa saja sepanjang masih menjadi urusan pemerintahan provinsi sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007.

Sedangkan terhadap fungsi pengawasan, perempuan parlemen Sultra tentu saja dapat berperan aktif maupun pasif dalam hal pelaksanaan APBD dan segala hal yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan Gubernur apabila dipandang merugikan kepentingan perempuan atau bias jender. Tindak lanjut dari pengawasan salah satunya dengan melakukan dengar pendapat dengan instansi yang berkompeten.

Sebagai kesimpulan, kita bisa menyatakan kebijakan afirmatif bagi partisipasi politik perempuan telah membawa perubahan dan titik terang, walaupun masih samar di ujung lorong. Jika kita memberi kesempatan kepada perempuan dan terus mempertahankan kebijakan ini sampai jangka waktu tertentu, ada optimisme perubahan lebih besar dan transformasi politik lebih substantif bisa diperjuangkan untuk masa yang tidak terlalu lama. Semoga.(***)

Tulisan lama, dimuat kendari pos 5 Oktober 2009.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun