Karenanya, mereka lebih suka menggunakan istilah "Saba Baduy" atau "bersilaturahmi dengan Baduy". Jadi, bukan karena daerahnya ditetapkan sebagai objek wisata semata.
Oleh karena itu, dalam mengembangkan pariwisata di sekitar Suku Baduy, penting untuk memastikan bahwa pengunjung maupun wisatawan mematuhi aturan-aturan adat dan memperlakukan lingkungan serta masyarakat dengan rasa hormat dan kepedulian.
Masyarakat Suku Baduy adalah sebuah harta karun budaya yang perlu dilestarikan dan dipelihara.Â
Dengan melindungi dan mempromosikan keberlanjutan Suku Baduy, kita dapat memastikan bahwa warisan budaya dan lingkungan yang berharga ini akan terus diperoleh oleh generasi mendatang.
2. Sistem Pertanian yang Alami dan Berkelanjutan
Peran penting hutan dalam kehidupan masyarakat Baduy tidak dapat disangkal. Mereka memiliki sistem pengelolaan lahan pertanian yang berkelanjutan, termasuk praktik perladangan berpindah-pindah, yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan pertanian dengan menjaga keseimbangan ekosistem.
Suku Baduy juga memberikan inspirasi bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di Indonesia.Â
Model pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan kepatuhan terhadap aturan adat menjadi contoh bagi masyarakat lain dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang padi di tanah kering (huma). Sistem perladangan yang mereka praktikkan adalah berladang berpindah dengan masa bera (istirahatkan lahan) selama lima tahun.
Sebagai mata pencaharian sampingan ketika menunggu waktu panen atau waktu luang, mereka membuat kerajinan tangan dari bambu berupa asepan, boboko, dan nyiru, juga membuat koya atau tas dari kulit kayu.
Masyarakat Baduy juga memasuki hutan untuk mencari rotan, pete, ranji, buah-buahan, dan madu, serta berburu. Mereka membuat atap dari daun kiray dan membuat alat pertanian seperti golok dan kored.