Mohon tunggu...
Ade Ratno
Ade Ratno Mohon Tunggu... Administrasi - Percaya bahwa kemajuan lebih penting daripada kesempurnaan. Selalu belajar, selalu berkembang. Mengubah tantangan menjadi peluang, satu langkah pada satu waktu

Kemandirian bukan berarti berjalan sendirian, tetapi kemampuan untuk menghadapai dunia dengan kekuatan dan keyakinan diri, meski tanpa bergantung pada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Di Balik Pintu Terkunci : (Part 2) "Bayangan di Depan Pintu"

1 Januari 2025   21:42 Diperbarui: 1 Januari 2025   20:52 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/users/sananthropis-20391040/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=7508035

Pandanganku semakin kabur, sementara ketukan jantungku semakin keras. Bayangan itu kini berdiri tepat di ambang pintu, tubuhnya hanya tampak sebagai sosok gelap yang tak berbentuk. Makin dekat, semakin jelas bahwa itu bukan sekadar bayangan---tapi seseorang.

Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan di tenggorokan, dan tubuhku terasa seperti beku. Bayangan itu berhenti tepat di depan pintu, tak bergerak, hanya berdiri diam seakan menunggu sesuatu. Aku menelan ludah dengan susah payah, dan pikiranku berputar cepat.

Siapa itu? Apa yang diinginkannya?

Dengan tangan yang gemetar, aku mencari kunci yang tersembunyi di bawah pot bunga di meja dekat pintu. Aku harus keluar dari sini, segera. Namun, saat aku berhasil menggenggam kunci dan mulai memutar gagang pintu, suara itu datang---suara berat yang menusuk telinga.

"Kamu tidak bisa keluar, Alia."

Aku berhenti sejenak, terkejut mendengar nama aku disebutkan. Suara itu---rasanya seperti tidak asing, namun tidak sepenuhnya aku kenal. Ada getaran dalam suaranya, seperti sebuah peringatan.

Dengan hati-hati, aku menoleh, dan kini bayangan itu bergerak. Perlahan, ia melangkah maju, mendekat dengan gerakan yang aneh, seperti terhuyung-huyung. Meskipun tubuhnya tampak seperti manusia, ada sesuatu yang sangat janggal---matanya tidak terlihat jelas, hanya dua lubang hitam pekat yang seolah menyerap cahaya di sekitarnya.

Aku mundur selangkah. "Apa yang kamu inginkan?" tanyaku, suaraku hampir tidak terdengar.

Bayangan itu berhenti dan mengangkat tangan, lalu menunjuk ke arah pintu belakang rumahku. "Mereka menunggu di sana," jawabnya pelan, suaranya bergetar, seperti ada sesuatu yang terkekang di dalamnya.

Aku terdiam sejenak, bingung. "Mereka siapa?" tanyaku, kini rasa takut mulai merayapi setiap inci tubuhku.

Bayangan itu mengangkat kepalanya, lalu suara yang lebih dalam dan lebih keras terdengar. "Ayahmu... dia sudah lama pergi. Mereka akan datang menjemputmu."

Seketika itu juga, seluruh tubuhku terasa lemas. Ayah? Kenapa dia menyebutkan Ayah? Apakah ini semua ada hubungannya dengan telepon tadi? Kenapa aku merasa tidak ada yang benar-benar bisa dijelaskan? Sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.

Aku melihat tangan bayangan itu terulur ke arahku, dan instingku langsung menguasai tubuhku. Aku tidak bisa diam saja. Dengan gerakan cepat, aku berbalik dan berlari ke pintu belakang, berusaha untuk keluar dari rumah. Namun, sesaat aku menoleh kembali, bayangan itu kini sudah berada di depan pintu belakang, seakan sudah menungguku.

Aku berhenti dan mundur, nafas aku terengah-engah. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku harus lari?" pikirku dalam hati, tak ada satu penjelasan pun yang masuk akal.

Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka dengan keras. Aku berbalik, dan kali ini ada suara langkah kaki yang lebih banyak---beberapa orang, mungkin lebih dari satu.

Bayangan itu kembali berbicara. "Mereka sudah datang, Alia. Tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi."

Aku melihat sekilas sosok-sosok lain yang muncul di ambang pintu depan. Mereka mengenakan pakaian gelap, dan wajah mereka tertutup topeng putih dengan senyuman aneh yang mengerikan. Mereka bergerak perlahan, tapi pasti, mendekat dengan cara yang sangat terkoordinasi.

Aku merasa seolah-olah dunia di sekitarku berputar dengan sangat cepat. Tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku berlari ke ruang tamu, mencoba mencari cara untuk keluar, namun pintu depan dan belakang terkunci rapat, dan satu-satunya jalan adalah menuju lantai atas.

Dengan segenap tenaga, aku berlari menaiki tangga, tak peduli seberapa keras langkah kaki mereka mengikuti di belakang. Aku harus keluar dari sini. Aku harus tahu apa yang sedang terjadi.

Aku masuk ke kamar, menutup pintu dengan cepat dan mengunci rapat. Nafasku semakin cepat, dan tubuhku gemetar. Aku berlari ke jendela dan membuka tirai, berharap bisa melihat sesuatu di luar yang bisa memberi petunjuk, namun yang terlihat hanya gelap gulita. Tidak ada satu pun tanda kehidupan.

Di tengah ketegangan itu, ponselku berdering lagi. Aku melihat layar---nomor yang sama: "Nomor Tertutup."

Aku mengambilnya, gemetar. "Halo?" suaraku terdengar sangat lemah.

"Ada waktu sedikit," suara Ayah kembali terdengar, lebih pelan kali ini. "Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menemukamu. Kamu harus memilih, Alia. Pergi sekarang, atau mereka akan datang."

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Hatiku penuh dengan kebingungan, tetapi aku tahu satu hal---semuanya yang ada di rumah ini mulai terasa sangat tidak nyata. Dan sekarang, pilihan itu berada di tanganku.

---

Lanjut ke part 3 (akhir cerita)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun