Mohon tunggu...
Ade Putra Ode Amane
Ade Putra Ode Amane Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Kebijakan Publik dan Politik (PUSTAKA) Universitas Muhammadiyah Luwuk Periode 2021 – sekarang. Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Al-Islam Kemuhammadiyaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Luwuk Periode 2021 – 2025. Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Periode 2017 – 2021 dan Sekretaris Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Luwuk Periode 2017 – 2020. Pendiri dan Pembina Yayasan Bakti Gemini Indonesia 2021 – Sekarang. Ketua DPD PA GMNI Sulawesi Tengah Periode 2021. Lolos seleksi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Kampus Mengajar Angkatan 7 Tahun 2024. Tergabung dalam penulisan buku antologi puisi, Book Chapter dan berbagai penelitian mitra dengan pihak Pemerintah maupun Pihak swasta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nomenklatur Kewenangan Pemerintah Desa pada Pengelolaan Aset-Aset Desa

29 Januari 2024   10:35 Diperbarui: 29 Januari 2024   10:45 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Desentralisasi sistem pemerintahan seperti dijelaskan Undang-Undang No. 23/2014 tentang Otonomi Daerah, tak hanya diimplementasikan melalui terapan bentuk peralihan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah semata, namun juga diorientasikan pada peralihan sistem keadministrasian yang lebih bersifat otonom bagi pemerintah daerah dalam menentukan dan menyelenggarakan kebijakannya sendiri.[1]

 Setangkat akan hal itu, pembangunan desa di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 pun menjadi salah satu agenda pembangunan nasional seperti tertuang dalam nawacita, yakni “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI”. Sebagai tindak lanjut akan hal itu, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai payung hukum dalam pengalokasian stimulus Anggaran Dana Desa (ADD) melalui program pemerintah “1 Desa 1 Milyar” yang didistribusikan di tiap tahunnya.[2]

Sehubungan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ini, diharapkan segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa sepenuhnya dapat terakomodasi lebih baik, pemberian kesempatan lebih besar bagi desa untuk mengurus tata kelola pemerintahannya sendiri, serta terciptanya pemerataan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa, yang mana pada gilirannya kesemuanya itu akan dapat perkecil tingkat kesenjangan antar wilayah, kemiskinan hingga dapat meminimalisir masalah sosial budaya lainnya.[3]

Setali tiga uang dengan pernyataan Riska yang menyebut bahwa kemiskinan merupakan masalah serius yang harus segera dituntaskan pemerintah, terutama masalah kemiskinan di desa. Salah satu cara yang bisa diupayakan oleh pemerintah desa untuk pengentasan kemiskinan ini yaitu dengan melakukan pembangunan desa yang harus ditunjang dengan pendapatan desa yang kuat. Dengan begitu maka pengelolaan aset desa yang baik sangat diperlukan untuk membangun kesejahteraan desa.[4]

Sejak diberlakunya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka segala sesuatu yang ada di desa berkenaan dengan pengaturan keuangan maupun pengelolaan aset desa, telah sepenuhnya beralih menjadi kewenangan dari Pemerintah Desa, bukan lagi pada Pemerintah Kabupaten.

Pasal 1 ayat 2 dan 3 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas menyebut, pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masih dalam kaitan itu, pemerintahan desa juga dikepalai oleh kepala desa dibantu perangkat-perangkat yang lain sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.[5]

Aspek penatausahaan keuangan pemerintahan desa, dalam hal ini terpisah dari tata usaha keuangan pemerintah kabupaten. Jabaran keuangan desa menurut Nurcholis dimaknai sebagai semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa.[6]

Aset desa sendiri menurut Undang-Undang No.6 Tahun 2014 pada Bab I Pasal 1 ayat 11 diterangkan: “Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah”. Lebih lanjut Pasal 72 UU Desa juga menerangkan bahwa sumber-sumber pendapatan desa dapat berasal dari:  Anggaran Dana Desa (ADD), Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Retribusi, Hasil Usaha Desa (BUMDes), Hasil Aset Desa, Pendapatan Asli Desa (PADes), Bantuan Keuangan Provinsi dan Bantuan Keuangan Kabupaten/Kota.[7]

Tata usaha kelola sumber keuangan desa yang terhitung besar, maka dibutuhkan aspek pengawasan berikut perencanaan yang matang dalam kaitan pengelolaannya, dan distribusi dana dapat tersalurkan pada pemenuhan tingkat kebutuhan masyarakat desa sebagaimana telah disepakati bersama secara tripartit antara aparat desa, BPD beserta perwakilan masyarakat. Hasil output yang diharapkan tentu desa akan bergerak cepat lebih maju, berdikari, serta mampu berswasembada secara mandiri dengan tak perlu bergantung lagi pada proyek-proyek dari instansi swasta atau sumbangan swadaya dari masyarakat desa. Kriteria desa mandiri tentunya desa yang berdaya dari sisi infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM), yang dibarengi pula dengan terciptanya tingkat produktivitas masyarakat melalui pengembangan potensi lokal yang dimiliki dalam menghasilkan Pendapatan Asli Desa.[8]

Pengelolaan aset desa dalam hal ini menjadi komponen penting dan menjadi modal besar bagi desa dalam menarget segi pendapatannya, agar kas desa tetap bisa bertumbuh secara eksponensial, sehingga program percepatan pembangunan desa dapat bergerak secara eskalatif dan sustainable dari waktu ke waktu. Untuk itulah kebijakan pemerintah desa menjadi penentu dan faktor kunci agar pengelolaan aset desa dapat berlangsung secara optimal, profesional, namun tak keluar dari galur regulasi yang ada.[9]

Aset-aset milik desa seyogianya bisa berupa aset materiil (aset kebendaan yang terlihat secara fisik) maupun non materiil (aset tak berwujud fisik). Ragam aset desa seperti dijelaskan dalam UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 76 ayat 1 dapat berwujud tanah desa, kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, lumbung desa, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa. 

Ke semua aset desa itu dalam kelolaannya dapat diintegrasikan menjadi satu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang tak hanya mengedepankan aspek administratif belaka, tetapi juga harus diarahkan pada upaya meningkatkan efisiensi, efektivitas, profitabilitas, produktivitas, sustainabilitas, berikut dengan meningkatkan nilai tambah dan leveransirnya. 

Oleh itulah perlunya gagasan kebijakan yang inovatif dari pemangku pemerintahan di tingkat desa yang mampu mendukung pertumbuhan pendapatan, menggerakkan masyarakat secara aktif untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan desa serta peningkatan pendapatan melalui potensi desa yang dimilikinya.

Implementasi pengelolaan aset-aset milik desa disebutkan juga harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Badan Permusyawaratan Daerah (BPD) yang mana untuk biayanya sendiri dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) serta hasil pendapatan usahanya dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pelayanan masyarakat desa.[10]

Aktualisasi program pengelolaan aset desa salah satunya juga ditempuh melalui inventarisasi aset-aset desa yang mana saat ini masih banyak desa yang masih belum bisa melaksanakan unsur ini secara sempurna, sehingga oleh Sumini dinyatakan sebagian besar aset desa masih banyak yang tidak dapat diidentifikasi secara langsung lantaran tidak diberi nomor register (kodifikasi) aset atas fisiknya. Kodifikasi aset di antaranya memuat nomor urut pencatatan dari tiap aset, pencatatan terhadap aset yang sejenis, tahun pengadaan, dan besaran harga. Bahkan untuk kategori aset yang telah miliki kodifikasi asetnya, tak jarang masih banyak yang belum dilakukan penelusuran dan pembaharuan nilai atas asetnya.[11]  

Begitu pun Risnawati menambahkan, untuk beberapa kategori aset tertentu, ternyata masih ada pembelian barang yang tidak tercatat dalam buku inventaris dan tidak diketahui pula asal usul barangnya (hasil jual beli atau hibah) akibat rendahnya kinerja pengurus aset dan tidak adanya aturan baku yang mengikat terhadap pentingnya pengelolaan aset seperti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis proses pencatatan dan pelaporan aset yang sah. Pemahaman petugas pengelola aset yang masih minim tentu saja akan berdampak tak sedikit aset yang bermasalah dan berisiko menjadi obyek sengketa, tidak jelas keabsahan kepemilikannya, serta tak ter administrasikan secara baik.[12]

Hal ini muncul ditengarai akibat kurangnya pemahaman aparat pemerintah desa dan TPK terhadap proses pengadaan yang masih belum memenuhi skema peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tak hanya itu, aset berupa infrastruktur yang secara geografis masih menjadi milik desa namun secara administratif sudah menjadi milik Pemkab, juga belum dilakukan pembaharuan pencatatan akibat tumpang tindih dalam pengelolaannya.

Padahal pemberian kewenangan berdasarkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa dan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, seharusnya sudah memberi gambaran jelas akan bentuk konseptualisasi pengelolaan dana desa oleh aparat pemerintah desa. Kepala desa selaku pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat desa juga punyai wewenang dan tanggung jawab menetapkan kebijakan pengelolaan aset desanya, menetapkan pembantu pengelola dan petugas yang mengurus aset desa, menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan aset desa, menetapkan kebijakan pengamanan aset desa, mengajukan usul pengadaan, pemindahtanganan dan penghapusan aset desa yang bersifat strategis melalui musyawarah desa, menyetujui usul pemindahtanganan, penghapusan aset desa sesuai batas kewenangan, serta menyetujui usul pemanfaatan aset desa selain tanah dan bangunan. Kemampuan manajerial dari Kepala Desa dalam hal ini menjadi titik strategis dalam keberhasilan kinerja pengelolaan aset di desanya.

Mengingat proses pengelolaan aset desa sangatlah kompleks, jangan sampai akibat dari ketidaktahuan justru menjadi bumerang di kemudian waktu bagi para pihak yang terlibat dalam prosesnya. Setiap kali diadakan Musrembang Desa, semua lembaga masyarakat juga harus diundang guna menyampaikan aspirasinya.

Faktor kesiapan aparat pemerintah desa akan kompetensi SDM juga perlu dipersiapkan sebaik mungkin agar tercapai tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance) pada pengelolaan aset desanya. Terlebih tuntutan masyarakat dewasa ini bergerak makin dinamis, terutama untuk aksesibilitas data.

Kendala utama yang masih jadi hambatan serius bagi pengelola aset desa dewasa ini adalah, lemahnya kemampuan aparatur pemerintahan desa dalam melakukan inventarisir aset-aset desa sehubungan sistematika pencatatan berikut dengan pembaharuan data aset. Selanjutnya dalam hal penatausahaan aset desa juga masih banyak ditemui aset vital yang belum miliki bukti kepemilikan oleh desa, sehingga kepala desa kesulitan melakukan bedah analisa dalam menentukan formulasi kebijakan renstra (rencana strategik) desa. Begitu pun hasil penilaian pengelolaan aset desa yang berlangsung di desa pada aspek pelaporan juga masih banyak yang terhitung masuk Wajar Dalam Pengecualian (WDP).

Padahal Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 6 ayat (1) secara jelas telah disebutkan bahwa pemerintah desa wajib mensertifikatkan seluruh aset tanah milik desa. Implikasinya tentu akan berdampak pada hasil perhitungan luasan tanah desa seperti disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) di mana tanah desa dapat berkurang luasnya karena tidak memiliki tanda batas. Kemudian, pada Pasal 49 ayat (2) tanah desa yang telah dibangun fasilitas umum menjadi milik Pemerintah Daerah, sehingga aset desa dapat berkurang karena banyak fasilitas umum yang dibangun di atas tanah milik desa.[13]

Perihal kelemahan major yang masih ditemui di desa-desa antara lain:

  • Kurangnya komunikasi dan koordinasi dengan semua unsur yang berkepentingan di Desa untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan melakukan evaluasi secara rutin berkelanjutan sehingga sebagian aset desa masih ada belum disertifikatkan. Hal ini beresiko timbulkan permasalahan kemudian hari;
  • Kurangnya aspek perencanaan yang matang dalam menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan aset desa setempat;
  • Sistem IT untuk jaringan pelaporan yang terintegrasi secara daring juga masih belum diwujudkan dalam bentuk transparansi data ke publik sehingga masyarakat masih sulit untuk dapat mengakses data desa. Publikasi ke masyarakat hanya dilakukan menggunakan  baliho yang dipasang di pinggir jalan dan belum diupayakan melalui website desa;
  • Belum optimalnya pemberdayaan aset desa dalam menghasilkan sumber pendapatan bagi desa yang sebagian besar masih bertumpu pada transfer dana desa dari pusat;
  • Kurangnya pemanfaatan aset desa secara maksimal akibat kurangnya penggalian potensi desa; serta
  • Lemahnya kompetensi sumber daya pengelola desa yang kompeten dalam melaksanakan strategi pengelolaan aset desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun