Mohon tunggu...
Ade Putra Ode Amane
Ade Putra Ode Amane Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Kebijakan Publik dan Politik (PUSTAKA) Universitas Muhammadiyah Luwuk Periode 2021 – sekarang. Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Al-Islam Kemuhammadiyaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Luwuk Periode 2021 – 2025. Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Periode 2017 – 2021 dan Sekretaris Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Luwuk Periode 2017 – 2020. Pendiri dan Pembina Yayasan Bakti Gemini Indonesia 2021 – Sekarang. Ketua DPD PA GMNI Sulawesi Tengah Periode 2021. Lolos seleksi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Kampus Mengajar Angkatan 7 Tahun 2024. Tergabung dalam penulisan buku antologi puisi, Book Chapter dan berbagai penelitian mitra dengan pihak Pemerintah maupun Pihak swasta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nomenklatur Kewenangan Pemerintah Desa pada Pengelolaan Aset-Aset Desa

29 Januari 2024   10:35 Diperbarui: 29 Januari 2024   10:45 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ke semua aset desa itu dalam kelolaannya dapat diintegrasikan menjadi satu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang tak hanya mengedepankan aspek administratif belaka, tetapi juga harus diarahkan pada upaya meningkatkan efisiensi, efektivitas, profitabilitas, produktivitas, sustainabilitas, berikut dengan meningkatkan nilai tambah dan leveransirnya. 

Oleh itulah perlunya gagasan kebijakan yang inovatif dari pemangku pemerintahan di tingkat desa yang mampu mendukung pertumbuhan pendapatan, menggerakkan masyarakat secara aktif untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan desa serta peningkatan pendapatan melalui potensi desa yang dimilikinya.

Implementasi pengelolaan aset-aset milik desa disebutkan juga harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Badan Permusyawaratan Daerah (BPD) yang mana untuk biayanya sendiri dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) serta hasil pendapatan usahanya dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pelayanan masyarakat desa.[10]

Aktualisasi program pengelolaan aset desa salah satunya juga ditempuh melalui inventarisasi aset-aset desa yang mana saat ini masih banyak desa yang masih belum bisa melaksanakan unsur ini secara sempurna, sehingga oleh Sumini dinyatakan sebagian besar aset desa masih banyak yang tidak dapat diidentifikasi secara langsung lantaran tidak diberi nomor register (kodifikasi) aset atas fisiknya. Kodifikasi aset di antaranya memuat nomor urut pencatatan dari tiap aset, pencatatan terhadap aset yang sejenis, tahun pengadaan, dan besaran harga. Bahkan untuk kategori aset yang telah miliki kodifikasi asetnya, tak jarang masih banyak yang belum dilakukan penelusuran dan pembaharuan nilai atas asetnya.[11]  

Begitu pun Risnawati menambahkan, untuk beberapa kategori aset tertentu, ternyata masih ada pembelian barang yang tidak tercatat dalam buku inventaris dan tidak diketahui pula asal usul barangnya (hasil jual beli atau hibah) akibat rendahnya kinerja pengurus aset dan tidak adanya aturan baku yang mengikat terhadap pentingnya pengelolaan aset seperti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis proses pencatatan dan pelaporan aset yang sah. Pemahaman petugas pengelola aset yang masih minim tentu saja akan berdampak tak sedikit aset yang bermasalah dan berisiko menjadi obyek sengketa, tidak jelas keabsahan kepemilikannya, serta tak ter administrasikan secara baik.[12]

Hal ini muncul ditengarai akibat kurangnya pemahaman aparat pemerintah desa dan TPK terhadap proses pengadaan yang masih belum memenuhi skema peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tak hanya itu, aset berupa infrastruktur yang secara geografis masih menjadi milik desa namun secara administratif sudah menjadi milik Pemkab, juga belum dilakukan pembaharuan pencatatan akibat tumpang tindih dalam pengelolaannya.

Padahal pemberian kewenangan berdasarkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa dan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, seharusnya sudah memberi gambaran jelas akan bentuk konseptualisasi pengelolaan dana desa oleh aparat pemerintah desa. Kepala desa selaku pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat desa juga punyai wewenang dan tanggung jawab menetapkan kebijakan pengelolaan aset desanya, menetapkan pembantu pengelola dan petugas yang mengurus aset desa, menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan aset desa, menetapkan kebijakan pengamanan aset desa, mengajukan usul pengadaan, pemindahtanganan dan penghapusan aset desa yang bersifat strategis melalui musyawarah desa, menyetujui usul pemindahtanganan, penghapusan aset desa sesuai batas kewenangan, serta menyetujui usul pemanfaatan aset desa selain tanah dan bangunan. Kemampuan manajerial dari Kepala Desa dalam hal ini menjadi titik strategis dalam keberhasilan kinerja pengelolaan aset di desanya.

Mengingat proses pengelolaan aset desa sangatlah kompleks, jangan sampai akibat dari ketidaktahuan justru menjadi bumerang di kemudian waktu bagi para pihak yang terlibat dalam prosesnya. Setiap kali diadakan Musrembang Desa, semua lembaga masyarakat juga harus diundang guna menyampaikan aspirasinya.

Faktor kesiapan aparat pemerintah desa akan kompetensi SDM juga perlu dipersiapkan sebaik mungkin agar tercapai tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance) pada pengelolaan aset desanya. Terlebih tuntutan masyarakat dewasa ini bergerak makin dinamis, terutama untuk aksesibilitas data.

Kendala utama yang masih jadi hambatan serius bagi pengelola aset desa dewasa ini adalah, lemahnya kemampuan aparatur pemerintahan desa dalam melakukan inventarisir aset-aset desa sehubungan sistematika pencatatan berikut dengan pembaharuan data aset. Selanjutnya dalam hal penatausahaan aset desa juga masih banyak ditemui aset vital yang belum miliki bukti kepemilikan oleh desa, sehingga kepala desa kesulitan melakukan bedah analisa dalam menentukan formulasi kebijakan renstra (rencana strategik) desa. Begitu pun hasil penilaian pengelolaan aset desa yang berlangsung di desa pada aspek pelaporan juga masih banyak yang terhitung masuk Wajar Dalam Pengecualian (WDP).

Padahal Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 6 ayat (1) secara jelas telah disebutkan bahwa pemerintah desa wajib mensertifikatkan seluruh aset tanah milik desa. Implikasinya tentu akan berdampak pada hasil perhitungan luasan tanah desa seperti disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) di mana tanah desa dapat berkurang luasnya karena tidak memiliki tanda batas. Kemudian, pada Pasal 49 ayat (2) tanah desa yang telah dibangun fasilitas umum menjadi milik Pemerintah Daerah, sehingga aset desa dapat berkurang karena banyak fasilitas umum yang dibangun di atas tanah milik desa.[13]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun