Sore yang terlampau air mata ketika wajah Aljero datang memenuhi seluruh bagian dalam hidupku tiba-tiba. Padahal aku hanya sebatas mengagumi dari kejauhan saja, namun entah mengapa dia membayang-bayangi sepi, saat kegelapan hari seolah-olah begitu cepat tumbangnya untuk berganti dengan pagi hari.Â
Mata masih mengantuk, saat ibu datang ke dalam kamar, membangunkan tubuh yang masih ingin menikmati betapa empuknya ranjang baru yang dihadiahkan oleh Paman Ra untuk ulang tahun ibu. Entahlah mengapa tiba-tiba mereka begitu perhatian, padahal semenjak ayah pergi biasanya mereka tidak pernah seperhatian ini.
"Jois, lekaslah bangun! Bukankah hari ini kau akan segera menikah? Lihatlah ke ruang tamu, para perias pengantin sudah berdatangan dan menantikan dirimu."
"Tapi aku sedang malas bangun! Baru beberapa menit saja bisa tertidur."
"Jois, lekaslah mandi!"
Aneh hari ini ibu nampak begitu galak dan memuakkan sekali, sampai-sampai berteriak seolah-olah dunia akan segera kiamat.
"Jois lekaslah bangun!"
"Iya iya, baiklah."
Bergegas mandi dan menemui para perias. Sepintas melihat ibu sudah cantik, bahkan semua orang hampir-hampir saja tidak percaya kalau dia sudah mempunyai empat orang anak yang sudah usia dewasa. Kecantikannya membuat mereka berdecak kagum.
"Dia lebih cantik dariku." Kata salah satu perias.
"Sudahlah jangan bergosip ria! Semua wanita itu cantik, apalagi jika hatinya lebih murni. Pastinya dialah bidadari."
"Kaaa ...mu, pengantinnya?"
"Sudah jangan banyak pertanyaan. Segera saja kalian rapihkan diriku dengan segera mungkin."
Dua jam yang sangat membosankan sekali, saat para perias membajak seluruh tubuhku.
"Ternyata anaknya lebih cantik dari ibunya, luar biasa." Para perias berdecak kagum dengan penampilan baruku hasil kerja keras mereka atas karyanya di wajahku.
Lima menit kemudian supir Dosen bahasa calon suamiku datang dan menjemput kami semuanya.
Sebenarnya enggan sekali untuk aku meninggalkan rumah peninggalan ayah. Banyak kenangan yang indah dan memuakkan. Tetapi inilah kehidupan, tidak selamanya semua terjaga dengan manis. Terkadang kita harus merasakan pahit, untuk kemudian memaniskannya lalu menikmati dalam kehidupan.
"Jois, ayo lekas!" Ibu kembali menyandarkan aku untuk segera berlalu dari rumah ayah.
Memandanginya untuk terakhir kali, karena esok rumah ini akan menjadi catatan sejarah saja. Paman Wan akan menempatinya sebab dialah yang berhak atas rumah itu. Menurut perjanjian kakek, Ayah hanya meminjam rumah itu sampai usianya habis oleh waktu dan takdir.
Air mata menetes membasahi riasan yang sudah mempercantik diri.
"Jois, jangan menangis!" Baru pertama kalinya ibu mengusap wajahku dengan saputangan yang disukainya. Entahlah mengapa aku menjadi sangat tidak nyaman. Antara kelkhlasan dan pura-pura menjadi sulit kubedakan lagi pada detik ini. Mungkin saja rasa keibuannya sudah benar-benar memenuhi ruangan gelap dihatinya.
Sampai juga pada akhirnya di gedung yang akan membawa kegadisanku menjadi sejarah pada hari ini. Namun tanpa sengaja mata ini melihat sosok pria yang pernah menjadi keinginan untuk hidupku kedepannya.Â
"Aljero, mana ayahmu?"Â
"Sudah berada di tempat, Pak Yos."
Pandangan mata tak berkutik beberapa saat sampai, tubuh Aljero sudah tidak lagi terlihat.
"Borjois! Ada apa ini? Ayo segera kelantai dua. Sudah waktunya."
"Ya, Bu."Â
Matanya nampak begitu serius dan sangat cemas. Mungkin karena rasa takut miskin kembali, apabila pernikahan ini tidak pernah terjadi.
Masuk ke dalam ruangan dan duduk di dekat calon suami, yang usianya jauh lebih tua dua puluh tahun.
"Bacalah kontrak ini sebelum menandatanganinya." Kata pengacara.
"Tidak usah! Tandatangani saja," kata ibu dengan penuh semangat.
Kubaca perlahan-lahan dan berhenti di sebuah kalimat yang paling menyedihkan.
"Pihak A tidak bisa menuntut haknya sebagaimana layaknya istri kepada pihak B. Sedangkan pihak B memiliki seutuhnya kehidupan pihak A tanpa kompromi. Apabila melanggar, maka semua kesepakatan di atas kembali lagi kepada pihak B tanpa terkecuali."
Terngiang-ngiang selalu setiap kata perkata dari beberapa kutipan surat kontrak. Kupikir mulai esok, kebebasanku sebagai manusia harus dilenyapkan dan menjadi budak cinta dari sebuah perjanjian berdarah tempo dulu. Saat ayahku memerlukan tempat peristirahatannya yang terakhir.
"Pihak B tidak memiliki hak apapun."
[Ayah, kuikhlaskan semua kehidupan ini demi tubuhmu yang seharusnya sudah lebih damai dan juga untuk semua keluarga yang kau titipkan kepadaku.]
"Bismillahirrahmanirrahim." Surat kontrak kutandatangani, namun belum sempat habis tanda tangan, tiba-tiba tangan Aljero menghentikan semuanya ini. Kemudian menatap wajah ayahnya.
"Ayahhh ... Kasihanilah ibuku!"
"Dueer ...."
Bagaimana tersambar petir di pagi yang masih terlampau kabut. Tak kupercaya mereka adalah anak dan ayah.
"Borjuis, kau kawanku bukan? Jangan lakukan ini kepada keluargaku."
"Hutangku terlampau banyak, Aljaro."
"Ayah ...."
Dosen itu mengacuhkan anaknya dan melanjutkan acara penandatanganan kontrak.Â
"Pak, aku bersedia mundur. Apapun sangsinya, aku bersedia menanggung semuanya."
"Bagaimana dengan menikmati tubuhmu selama dua hari, tanpa sepeserpun uang dan semua harta yang kujanjikan?"
"Demi kebahagiaan Aljero, aku menerimanya."
Ibu tiba-tiba pingsan, Aljero hanya memandang wajahku tanpa kedip sambil berkata, "ayah, tidak! Dia milikku." Pisau tajam yang dibawanya dari rumah menembus jantung dan membuat tubuhnya tumbang ke lantai.
Pisau penuh darah kuambil dan menyuruh Aljero pergi dari gedung itu. Sejam kemudian aku dibawa ke kantor polisi dan ditahan di dalam sel. Namun ketika jauh malam, dosen menemuiku dan berkata, "Jois, kau harus kunikmati saat ini juga. Semua kontrak sudah dilanjutkan ibumu dan sudah semuanya ditandatangani. Mulai sekarang hidupmu adalah untukku."
Tubuhku tiba-tiba lemas dan tidak sadarkan diri.Â
Esoknya terkejut dengan penglihatan didepan mataku. Apartemen yang dijanjikan sudah ditempati. Ruangan yang sepi dan dingin mulai mewarnai hidupku mulai saat ini.Â
"Sayang ...."
Dosen memelukku dari belakang dan membisikkan kata-kata manis.
"Borjois, semalam menyenangkan sekali. Ternyata kau lebih hebat dari istriku padahal kau baru pertama kalinya merasakan betapa nikmatnya cinta kita."
Sebenarnya aku tidak memahami apa maksudnya. Ketika mencoba menanyakan perihal ini, tiba-tiba ibu datang dengan wajah yang berseri dan begitu segar.
"Ini kopimu, Master!" Sebuah kecupan hangat mendarat dipipinya.
Dosen ternyata masih setengah sadar dan tidak menyadari kalau ibulah yang menciuminya. Kemudian menyuruhku pergi dari kamar dan bergegas ke sekolah.
Sambil berjalan ke sekolah, aku masih berpikir tentang semuanya. Agak begitu aneh menurut jalan pikiran ini. Namun masa bodo sajalah. Toh semuanya mampu teratasi dengan baik.
Sesampainya di sekolah melihat Aljero nampak murung dan begitu gelisah. Ketika melihatku dia menanyakan kabar ayahnya. Rupanya dosen itu telah membohongi Aljero kalau dia terluka parah. Padahal dia baik-baik saja. Apa yang sebenarnya terjadi pagi kemarin itu ya? Pikiranku menjalar kemana-mana. Kejadian begitu cepat dan tidak bisa kuingat keseluruhan.
Tiba-tiba ponsel berbunyi dan sebuah chat dari nomer tak dikenal kubaca.
[Bangsat! Kenapa pacarku kau tumbalkan]
[Siapa kau?]
[Kekasih abangmu! Kembalikan dia!]
[Apa maksudmu?]
[Dia telah koma karena menolong suamimu]
"Deg!"
Ting Ting Ting Ting
Bersambung
Jakarta, 23 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H