"Apakah begitu adanya, Borjois?"
"Kau lebih mengenalku, Pak!" Kemudian memakai kembali baju-baju yang berserakan dilantai.
"Jabatan kalian dipertaruhkan hari ini! Borjois siapakah yang memberikan uang ini kepadamu?"Â
"Hanya orang gila yang sedang mencoba kesabaranku, Pak! Lupakan saja. Tutup kasus dan lepaskanlah aku. Ibuku dan seluruh keluarga pasti sudah sangat kelaparan hari ini."
Bapak kepala kepolisian yang dulu sering mampir ke bengkel melepaskan aku dan memberikan sejumlah uang yang cukup untuk membeli sejumlah bahan makanan untuk seluruh keluarga.Â
Dalam hati kecilku masih bersyukur kepada Allah Yang Maha Esa. Kehormatanku sebagai wanita masih dijaganya sampai detik ini.
Terkadang aku membenci wajah cantik dan tubuh yang kumiliki. Sebab walau sudah kututup dengan kain panjang, masih saja para pria terpesona. Aku sangat membencinya, maka dari itu aku jarang mandi dan hanya menggosok gigi walaupun hanya dengan menggunakan abu gosok hasil pembakaran kayu di kebun Pak Mardjuki.
"Lihat! Kakak Borjois membawa banyak makanan."
Dari jendela kamar dosen bahasa Perancis, yang rumahnya di seberang jalan rumahku, nampak sebuah wajah yang sangat kukenal betul. Sambil menatapnya penuh api dendam aku memunculkan jari telunjuk tanda peperangan.Â
"Borjois, kenapa dengan bajumu? Sobek semuanya."
"Mungkin dia sudah menjual keperawanan demi perut kita, Bu."