Setelah lebih dari setahun kegiatan belajar di sekolah terpaksa dirumahkan karena pandemi, Pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud kini mulai mengizinkan beberapa sekolah melakukan pembelajaran tatap muka, meski secara bertahap dan terbatas.
Proses yang harus ditempuh sekolah untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka pun tidak sederhana. Disamping harus berada di zona yang relatif aman (minimal kuning), untuk dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka, sekolah juga harus melengkapi diri dengan seperangkat alat-alat sanitizer, membagi kapasitas kelas menjadi 50% dengan sistem shift, dan mesti mengantongi surat pernyataan bermaterai yang menyatakan bahwa orang tua siswa "bersedia/tidak bersedia" buah hatinya mengikuti pembelajaran tatap muka tersebut.
Meski sekolah telah melengkapi segudang persyaratan yang tidak sederhana dan relatif "mahal" seperti di atas, sikap yang ditunjukkan orang tua siswa pun berbeda-beda dalam merespons kebijakan tersebut. Ada yang secara umum bersedia "mengembalikan" anaknya ke sekolah, namun tidak sedikit juga yang ragu, bahkan menolak.
Berikut ini beberapa sikap dari orang tua siswa dalam merespons pembelajaran tatap muka di masa pandemi:
1. Senang
Tidak sedikit orang tua yang mengeluhkan betapa sulit mengajari anak-anak untuk memahami pelajaran. Â Bahkan, untuk meminta anak-anak mengerjakan tugas saja, merupakan perkara sulit bagi sebagian orang tua.
Karena itu, dikembalikannya kegiatan belajar ke sekolah menjadi kabar gembira bagi sebagian orang tua. Sebab dengan begitu, "volume" kerja orang tua menjadi lebih ringan. Karena aktivitas belajar formal anak-anak dikembalikan kepada guru sebagai orang tua kedua di sekolah.
Selain itu, perasaan senang orang tua siswa juga disebabkan oleh indikasi akan berakhirnya masa pandemi. Dengan dibukanya sekolah, sebagian orang tua juga meyakini bahwa tak lama lagi kita akan memasuki masa normal.
2. Khawatir