Ada rasa sesak yang menjalar saat membaca chat masuk dari Bapak. Air mata mulai mengalir deras, tak kuasa menahan tangis yang sejak tadi tertahan. Waktu itu saya tetap di rumah lantaran masih suasana Covid-19, harus meminimalisir kegiatan di luar rumah. Jadi, Bapak dan Ibu tidak mengizinkan saya ikut pulang.
Dunia terasa runtuh, tak ada lagi tempat pulang saat lebaran tiba. Sejak kepergian Mbah Uti, rumah beliau yang berada di Magetan tampak berbeda. Sunyi, sepi dan gelap, hanya ada Mbah Kung sebagai penghuni tetap di rumah itu.
Setelah 100 hari kepergian beliau, Bapak dan Ibu baru sempat mengajak saya mengunjungi makam Mbah Uti di Magetan. Makam beliau berada di kawasan makam penduduk desa, letaknya tak jauh dari makam mendiang Mbah Buyut.
Ada satu hal yang saya ingat sampai sekarang. Mendiang Mbah Uti sempat berjualan sate ayam Ponorogo dan rujak cingur. Waktu lebaran sebelum kepergian beliau, mendiang Mbah Uti sempat membuatkan seporsi rujak cingur untuk saya.
Tanpa terasa, hati saya sangat sesak saat mengingat momen tersebut. Cita rasa seporsi rujak cingur buatan Mbah Uti masih membekas di ingatan saya.
"Mbah, aku kangen!" ucapku saat menatap foto Mbah Uti di layar ponsel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H