"Mengapa aku berbeda, Ma? Bukankah aku putri Mama juga? Aku lahir dari rahim Mama, 'kan?" cecarku pada wanita muda yang kusebut Mama.
Wanita itu melengos seolah tidak melihat kehadiranku. Ia masih acuh tak acuh meski aku masih mematung di hadapannya. Raut mukanya datar dan terlihat angkuh seperti biasanya.
"Ma ...," lirihku. Aku menarik jemari lembut miliknya, tetapi wanita itu masih terdiam. "Aku ingin mendapat kasih sayang yang sama seperti Aina."
Cairan bening mengalir deras tanpa jeda, membasahi kedua pipi yang semula kering. Saking derasnya, satu tanganku tidak cukup untuk menghentikan alirannya. Hati ini tidak mampu menahan ribuan jarum yang menghunjam, sakit rasanya. Sayangnya, Mama tetap acuh tak acuh, membiarkan tangan mungilku terus menggenggam jemarinya meski dirinya tidak menatap ke arahku sedikit pun.
Pada waktu yang bersamaan, Aina---adik kembarku---menuruni anak tangga dan langsung menghambur ke pelukan Mama. Kulihat senyum di bibir Mama mengembang, lalu menyambut Aina dengan kecupan. Sayangnya, hal itu tidak pernah aku dapatkan. Kasih sayang yang Mama berikan sangat berbeda seolah-olah diriku bukanlah putri kandungnya.
"Sebentar lagi tanggal tujuh belas, apa Mama akan merayakan ulang tahun Aina?" tanya Aina dengan sikap manja.
"Iya, dong. Mama dan Papa pasti merayakan ulang tahunmu. Kan, kamu anak kesayangan kami." Mama berucap tanpa memedulikan diriku yang sedari tadi menatap kebahagiaan kecil terpampang di depan mata.
'Aku merindukanmu, Ma. Sejak kecil, aku tidak pernah dipeluk mesra oleh Mama. Aku tidak tahu bagaimana rasanya bergelayut manja di pangkuanmu seperti Aina.'
Mata ini memburam, tertutup kaca-kaca bening yang menggumpal dan membasahi kelopak mata. Tidak berapa lama, sang kristal mulai berjatuhan, berlomba terjun bebas menuju titik terendah. Namun, aku memilih mengabaikannya, tidak sedikit pun berniat mengusap bekas air mata yang membasahi pipi.
Tanpa sadar, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh sejenak, menatap polos sosok lelaki jangkung di hadapan. Usapan jemari kekarnya terasa lembut saat mengenai lelehan air mata yang menggantung. Diusapnya lelehan itu hingga tidak tersisa. Detik berikutnya, lelaki itu merekatkan bibir di keningku, mendaratkan kecup hangat sebagai pelipur lara.Â
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Papa sambil menatap lekat ke arahku.