Asap-asap rokok mengepul dalam ruangan seluas 30 m2. Seorang berkepala plontos memberikan beberapa opini dalam sebuah diskusi yang dihadiri kurang lebih 10 orang pemuda maupun pemudi berusia 18-22 tahun. Tema yang diangkat begitu familiar untuk orang-orang saat ini. Setiap hari media massa mewartakan kepada masyarakat secara umum.
Adanya wabah virus corona yang berasal dari Wuhan membuat masyarakat cemas. Pertama cemas dalam masalah kesehatan, kedua cemas dalam hal ekonomi. Banyak hal yang membuat masyarakat takut sekaligus trauma, misal mendengar kata-kata isolasi mandiri, lockdown, stay at home, work from home, PSBB, PPKM level 1 hingga 4, dan lain-lain.
"Siapa yang diuntungkan pertama kali dengan adanya wabah ini?"
Si plontos mencoba mencairkan suasana dengan cara bertanya kepada audiens. Kebanyakan menjawab tenaga medis, namun si plontos menggelengkan kepala. Sebelum ia menjawab, rokok di tangan kanannya ia hirup dalam-dalam.
"Bagaimana bisa kalian mengatakan bahwa tenaga medis yang paling diuntungkan dalam situasi ini? Sedang banyak dari mereka kelelahan dan akhirnya gugur sebagai pahlawan. Tak cukup sampai di situ, mereka juga meninggal karena terpapar virus corona menurut ahli medis.Â
Menurut saya, mereka hanyalah sebuah pion yang menjadi korban dari titah sang raja. Artinya, mereka hanya menjalankan tugas dari atasan, tidak boleh membantah, bahkan sekadar berbeda pendapat pun tak bisa."
Si plontos kembali menghirup rokok dalam-dalam, lalu menghembuskan melalui dua lubang hidung sebelum melanjutkan pembicaraannya.
"Kalian tahu apa maksud dari atasan yang kubicarakan tadi? Atasan bukanlah kepala rumah sakit juga bukan menteri kesehatan, dan bukan pula WHO, tapi... segelintir orang dari golongan aristokrat pemangku kekuasaan yang berusaha mengendalikan elit global."
Kening para audiens mengerut, berusaha memahami opini si plontos.
"Sebelum saya melanjutkan kembali paparan, izinkan saya bertanya mengenai beberapa hal kepada kalian. pernahkan terpikirkan dalam benak kalian bahwa covid-19 tidak murni berasal dari kelelawar, melainkan diciptakan oleh segelintir orang tadi untuk melumpuhkan ekonomi, pendidikan, sosial, serta budaya di beberapa negara, khususnya negara-negara di benua Asia yang diprediksi akan menjadi negara adidaya dunia pasca keruntuhan Barat?"
"Dengan kata lain, covid-19 adalah senjata berupa virus yang bisa menyebar secara massif kepada masyarakat secara global dengan tingkat kematian 20%-30% bagi orang-orang berusia 20-40 tahun tanpa komorbit dan 40%-70% bagi lansia di atas 50 tahun dengan komorbit seperti diabetes, jantung, dan penyakit paru-paru.Â
Sebenarnya dari statistik, angka kematian covid-19 tak begitu tinggi dibandingkan dengan obesitas, sayang media umum terlalu membesar-besarkan korban kematian darinya, yang miris pemerintah juga ikut-ikutan mengambil kebijakan tak singkron dengan kebutuhan masyarakat bawah seperti PSBB dan PPKM."
"Dua kebijakan itu tak akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat kelas bawah sebagai pekerja harian karena setiap hari mereka harus mencari sesuap nasi untuk mengganjal perut-perut lapar mereka, namun dua kebijakan tersebut akan berpengaruh pada pasokan dompet, dimana mereka kesulitan mencari nafkah akibat ketakutan masyarakat untuk bepergian ke luar rumah dengan berkurangnya mobilitas."
"Disanalah roda ekonomi akan hancur-lebur tanpa sisa. Tak mengapa jika kejadian itu berlangsung selama 1 minggu, tetapi jika sudah berjalan hampir dua tahun, maka kehancuran ekonomi akan semakin dekat, maka yang paling diuntungkan dengan adanya pandemi ini pertama si pemangku elit global, kedua para penjual obat sebagai terapi covid-19.Â
Mereka akan menjadi segelintir orang kaya yang bisa menaklukkan masyarakat global dengan uang-uang dan kekayaan di tangan mereka."
Para auidiens terpesona dengan argumen si plontos. Ia tahu betul seluk-beluk gerakan bawah tanah mengenai adanya wabah covid-19 yang semakin menggila, serta merugikan kalangan masyarakat secara umum.
"Kalian juga harus tahu bahwa senjata covid-19 buatan segelintir orang tadi juga menghancurkan tatanan pendidikan. Lihat saja di Indonesia, banyak anak dari TK sampai Perguruan Tinggi yang hanya bisa menikmati pembelajaran melalui aplikasi WA.Â
Instruksinya hanya tugas-tugas membosankan, sedang proses mengajar tak pernah terlaksana secara maksimal meski sudah melalui zoom, google meeting, dan lain-lain. Salah satu yang menjadi kendala ialah tak meratanya sinyal di berbagai tempat, terutama di desa-desa terpecil dan pelosok."
Si plontos mematikan rokoknya di asbak, lalu beralih pada secangkir kopi yang sedari tadi telah dingin. Ia minum beberapa tegukan untuk mengembalikan daya pikirnya mengenai konspirasi.
"Di desa-desa kecil masih banyak yang buta teknologi, jangankan mempermasalahkan sinya, membedakan pesan masuk melalui sms dan WA saja masih bingung, apalagi dipaksa mengakses berbagai aplikasi tatap muka online yang sangat bergantung pada kekuatan sinyal.Â
Akibatnya proses belajar-mengajar tak efektif, semua yang dilakukan hanyalah formalitas belaka demi memenuhi target dari kepala Satuan Pendidikan masing-masing kabupaten guna menciptakan embel-embel pembelajaran kreatif dan inovatif, padahal dua hal itu sejatinya tak pernah terlaksana dengan baik secara praktik."
"Maka, jangan heran jika kalian mengadakan survey kecil-kecilan secara random di sebuah sekolah SMA. Cobalah kalian tanya untuk menyebutkan sila pertama dari Pancasila, saya yakin kebanyakan mereka tak akan menjawab 'Ketuhanan Yang Maha Esa', melainkan sila lain selain nomor satu. Bahkan mungkin ada juga sebagian dari mereka yang tak tahu Pancasila itu apa. Oh... my God..."
Si plontos tersenyum sambil menepuk jidatnya yang putih.
"Di sanalah kualitas pendidikan Indonesia semakin bobrok, semua ini gara-gara senjata covid-19. Belum lagi masalah budaya, kita diharuskan untuk berdiam diri di rumah, padahal budaya masyarakat kita adalah berkumpul melalui berbagai kegiatan kampung seperti kerja bakti, ronda, dan lain-lain.Â
Adanya kebijakan itu mengakibatkan hilangnya rasa empati dan simpati karena berkurangnya intensitas waktu untuk bertemu."
Seluruh audiens bertepuk tangan membenarkan apa yang disampaikan si plontos. Ia telah memaparkan kehancuran akibat adanya senjata pemusnah terselubung berupa covid-19, kehancurannya meliputi ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan budaya.
"Kita tahu bahwa yang menciptakan senjata ini bukan Amerika si pemangku negara adidaya saat ini. Mengapa? Di sana angka positif covid-19 terus membengkak. Tidak mungkin negara yang menciptakan sebuah virus ganas menggunakannya untuk menghacurkan negara itu sendiri.Â
Ada kemungkinan yang menciptakan virus itu adalah sebuah negara kecil penduduk dengan korban positif covid-19 yang minim, saking minimnya bisa dihitung dengan jari-jemari kita."
"Siapa itu?"
Salah satu audiens laki-laki berambut kribo bertanya penasaran.
"Hm... Tidak bisa saya sebutkan di sini karena terlalu sensitif. Lagi pula saya hanya bisa menduga tanpa bisa memberikan bukti kuat secara tertulis, maupun secara visual berupa foto dan video yang apabila prediksi saya salah bisa menyebabkan saya masuk ke dalam bui akibat pasal-pasal karet UU ITE dengan dalih ujaran kebencian, hoax, dan menimbulkan kericuhan..."
 "Di sini tidak ada yang merekam bang..."
Ucap si kribo protes karena rasa penasarannya tidak bisa tersalurkan dengan baik.
"Kelihatannya kalian memang tidak ada yang merekam melalui video, namun siapa tahu sebagian dari kalian ada yang merekam melalui audio lalu disalah gunakan dan disebar ke media massa. Hmm... bisa jadi juga kan? Untuk itulah saya mencoba berhati-hati di sebuah ruang dan waktu yang tak lagi dewasa dengan slogan freedom of speech."
"Meski sedari tadi saya berbicara mengenai konspirasi covid-19 adalah senjata ganas pemusnah masal, bukan berarti kita abai terhadap protokol kesehatan. Kita tetap harus memakai masker, memcuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta menjaga jarak.Â
Sembari kita teliti lebih lanjut siapa dalang di balik semua ini. Kita kumpulkan bukti-bukti kuat, lalu kita tangkap segelintir orang yang tega menciptakan virus ini. Orang-orang yang tega membunuh jutaan manusia untuk kepentingan sesaat."
Semua orang di ruangan setuju. Mereka tahu bahwa teori konspirasi benar adanya, namun bukan berarti mereka bisa seenaknya sendiri melanggar protokol kesehatan. Biarkan para elit bekarja menangkap orang-orang yang menciptakan covid-19 jika benar adanya, tapi tugas mereka semua hanya satu, menaati pemerintah dengan menerapkan protokol kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H