Menyoal penegakan HAM di Malaysia, apakah peringkat WorldAudit.org itu membuktikan bahwa pemerintahan PM Najib tidak ramah HAM?
Cermati catatan menarik dari salah satu LSM dunia, Human Rights Watch (HRW). Dalam laporan tahunannya, HRW memberikan beberapa poin penting penerapan HAM di Malaysia pada 2014-2015.
Lembaga itu melaporkan bahwa pemerintah Malaysia mengakui hak setiap warga negara untuk bebas menyuarakan aspirasinya. Di sisi lain, ada ancaman dari UU mengenai penghasutan yang sering menimpa politisi dan aktivis HAM di negeri itu yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah maupun kerajaan.
Dalam catatan HRW, dari Januari 2013 kepada November 2014 kerajaan telah mendakwa sekurang-kurangnya 20 orang di bawah akta hasutan, termasuk empat anggota parlemen, aktivis sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), penulis blog, akademisi, dan lain-lain. Ada yang dihukum penjara, ada pula yang hanya dijatuhi sanksi denda.
Selain itu ada UU Komunikasi dan Multimedia pasal 233 tentang pengenaan tuduhan terhadap produk komunikasi yang dianggap menyinggung hingga mengganggu stabilitas sosial di Malaysia. Pada 2014, puluhan orang harus berurusan dengan aparat berwenang karena keberadaan UU tersebut.
HAM di Masa Mahathir
Bagaimana penegakan HAM di masa Mahathir berkuasa?
Bila boleh dibandingkan, banyak pihak di Malaysia mengatakan bahwa warisan HAM Mahathir bukan salah satu yang bisa dibanggakan. Yang terutama adalah penyalahgunaan Internal Security Act (ISA) demi melanggengkan kekuasaan.
UU tersebut memungkinkan pemerintah menahan individu tanpa batas waktu dan tanpa perlindungan prosedural yang memadai, dan melanggar standar HAM internasional yang berkaitan dengan proses hokum, dan judicial review. Sebagai contoh, pada 1987, ratusan politisi maupun aktivis yang beroposisi dengan Mahathir dijebloskan ke penjara atas tuduhan subversif berdasar UU ini.
Apakah hanya ISA? Siapa bilang? HRW bahkan dengan sinis pernah menyatakan bahwa di zaman Mahathir, tak ada yang namanya independensi peradilan. Pemerintah kala itu begitu berkuasa membatasi kemampuan lembaga peradilan untuk melaksanakan fungsi inti dari memeriksa penyalahgunaan eksekutif kekuasaan.
Lembaga peradilan dibatasi untuk menulis ulang hukum serta melarang adanya judicial review. Belum lagi intimidasi anggota majelis peradilan oleh pemerintah. Sampel terbaik untuk indikator ini adalah tuduhan memperkaya diri yang menimpa anggota keluarga Tun Mahathir atas hubungan bisnis mereka dengan perusahaan-perusahaan milik negara yang hampir semua kasusnya dipetieskan.