Isu hak asasi manusia (HAM) menjadi salah satu kunci pertarungan politik antara PM Najib Razak dan mantan PM Mahathir Mohamad dengan aliansi oposisinya. Berbagai tuduhan pun dialamatkan kepada pemerintahan Malaysia terkini.
Yang terbaru ketika salah satu aktivis senior Malaysia, Maria Chin, dicekal ke Korea Selatan. Sontak kebijakan itu berakibat PM Najib mendapatkan berbagai tudingan miring, bahkan hujatan.
Pertanyaan pun timbul, bagaimana sebenarnya gambaran penegakan HAM di bawah pemerintahan PM Najib?
Menurut satu situs WorldAudit.org, pada 2015 Malaysia menempati urutan ke-82 dari 210 negara terkait audit demokrasi secara keseluruhan. Situs itu menyandarkan perhitungan pada empat indikator utama, yakni korupsi, kebebasan pers, kebebasan sipil, serta hak-hak politik.
Untuk indikator korupsi, WorldAudit.org menempatkan Malaysia di posisi ke-45. Posisi tertinggi Malaysia ada pada indikator kebebasan sipil dan hak-hak politis yang sama-sama menempati posisi ke-4.
Namun, untuk kebebasan pers, situs itu memosisikan Malaysia di urutan ke-102 dari 210 negara. Malaysia belum mampu mengalahkan Singapura, negeri tetangga yang kerap berselisih dan melontarkan kritik soal penegakan HAM di negara masing-masing. Dalam peringkat audit demokrasi secara keseluruhan, Singapura menempati posisi ke-71.
Untuk indikator kebebasan sipil dan hak-hak politis warga negara, Singapura sama dengan Malaysia, menempati posisi ke-4. Untuk tingkat korupsi Singapura jauh lebih baik dari Malaysia, yakni di posisi ke-5.
Yang membuat Malaysia lebih baik dari Singapura ada pada indikator kebebasan pers. Negri Singa harus puas di posisi ke-113.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam peringkat demokrasi secara keseluruhan, Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Malaysia maupun Singapura karena berada di urutan ke-62. Untuk indikator kebebasan sipil dan hak-hak politis, Indonesia menempati posisi ke-2 dan ke-3.
Indikator kebebasan pers, Indonesia lebih baik dari Malaysia dan Singapura, dengan menempati posisi ke-62. Namun, untuk indikator tingkat korupsi, Indonesia paling rendah dibandingkan dengan Singapura (5) dan Malaysia (45), yakni posisi ke-92.
Menyoal penegakan HAM di Malaysia, apakah peringkat WorldAudit.org itu membuktikan bahwa pemerintahan PM Najib tidak ramah HAM?
Cermati catatan menarik dari salah satu LSM dunia, Human Rights Watch (HRW). Dalam laporan tahunannya, HRW memberikan beberapa poin penting penerapan HAM di Malaysia pada 2014-2015.
Lembaga itu melaporkan bahwa pemerintah Malaysia mengakui hak setiap warga negara untuk bebas menyuarakan aspirasinya. Di sisi lain, ada ancaman dari UU mengenai penghasutan yang sering menimpa politisi dan aktivis HAM di negeri itu yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah maupun kerajaan.
Dalam catatan HRW, dari Januari 2013 kepada November 2014 kerajaan telah mendakwa sekurang-kurangnya 20 orang di bawah akta hasutan, termasuk empat anggota parlemen, aktivis sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), penulis blog, akademisi, dan lain-lain. Ada yang dihukum penjara, ada pula yang hanya dijatuhi sanksi denda.
Selain itu ada UU Komunikasi dan Multimedia pasal 233 tentang pengenaan tuduhan terhadap produk komunikasi yang dianggap menyinggung hingga mengganggu stabilitas sosial di Malaysia. Pada 2014, puluhan orang harus berurusan dengan aparat berwenang karena keberadaan UU tersebut.
HAM di Masa Mahathir
Bagaimana penegakan HAM di masa Mahathir berkuasa?
Bila boleh dibandingkan, banyak pihak di Malaysia mengatakan bahwa warisan HAM Mahathir bukan salah satu yang bisa dibanggakan. Yang terutama adalah penyalahgunaan Internal Security Act (ISA) demi melanggengkan kekuasaan.
UU tersebut memungkinkan pemerintah menahan individu tanpa batas waktu dan tanpa perlindungan prosedural yang memadai, dan melanggar standar HAM internasional yang berkaitan dengan proses hokum, dan judicial review. Sebagai contoh, pada 1987, ratusan politisi maupun aktivis yang beroposisi dengan Mahathir dijebloskan ke penjara atas tuduhan subversif berdasar UU ini.
Apakah hanya ISA? Siapa bilang? HRW bahkan dengan sinis pernah menyatakan bahwa di zaman Mahathir, tak ada yang namanya independensi peradilan. Pemerintah kala itu begitu berkuasa membatasi kemampuan lembaga peradilan untuk melaksanakan fungsi inti dari memeriksa penyalahgunaan eksekutif kekuasaan.
Lembaga peradilan dibatasi untuk menulis ulang hukum serta melarang adanya judicial review. Belum lagi intimidasi anggota majelis peradilan oleh pemerintah. Sampel terbaik untuk indikator ini adalah tuduhan memperkaya diri yang menimpa anggota keluarga Tun Mahathir atas hubungan bisnis mereka dengan perusahaan-perusahaan milik negara yang hampir semua kasusnya dipetieskan.
Jadi lebih baik mana, HAM di masa Mahathir atau era PM Najib sekarang ini?
Mengacu pada audit dari situs WorldAudit.org, harus diakui bahwa reformasi HAM yang telah diperjuangkan dari masa pemerintahan mantan PM Abdullah Badawi kian menunjukkan hasil di masa PM Najib. Terutama bila membandingkan dengan masa Tun Mahathir berkuasa menyangkut aspek kebebasan pers, kebebasan berpolitik, dan hak-hak sipil.
Bagaimana dengan indikator korupsi? Di antara negara-negara ASEAN, peringkat Malaysia masih berada di tiga besar.
Pencapaian Malaysia yang masuk sebagai 50 negara terbersih dari korupsi tentu bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Inilah mengapa, banyak pihak meyakini bahwa bila Mahathir terus menggunakan isu HAM dan korupsi untuk melawan PM Najib, besar kemungkinan akan mengalami kegagalan di kemudian hari.
Bukan apa-apa, dengan segala rekam jejak yang pernah dibuat pemerintahan Mahathir, tuduhan itu nantinya akan berbalik mengenai dirinya dengan lebih keras. Di usia Tun Mahathir yang kian menua, langkah ini tentu bukan jalan terbaik baginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H