Mohon tunggu...
Adam Perdana
Adam Perdana Mohon Tunggu... lainnya -

Saya menulis, maka saya Eksis. www.facebook.com/AdamPerdana007

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Lelaki yang Benci Penjual Koran

1 Agustus 2016   17:22 Diperbarui: 1 Agustus 2016   18:11 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari http://www.sternlawnj.com

Sambil menunggu lampu merah berganti hijau, lelaki itu berusaha mengatur nafas di motornya. Cuaca tidak begitu panas, tapi hatinya terasa agak panas siang ini. Dia baru saja selesai rapat di kantornya. Bos memarahinya tadi karena penjualannya jauh di bawah target. Di rapat sebelumnya dia sudah menyatakan kenapa penjualannya menurun. Distributor lain punya produk baru yang lebih unggul dan harganya pun lebih murah. Bosnya tak mau tahu, yang bosnya mau adalah para sales harus bekerja lebih keras dan lebih keras lagi.

50 detik lagi lampu hijau menyala, lelaki itu masih menunggu. Simpang itu dilaluinya tiap hari, tak ada yang istimewa. Deretan ruko yang bersesakan, suasana yang gersang, spanduk-spanduk, dan sebuah LCD besar yang tak lelah menayangkan iklan. Itulah yang dia dapati setiap melalui simpang itu. Ada satu lagi, para penjual koran! Sejak pertama kali lewat di simpang itu, dia langsung tidak suka dengan para penjual koran.

Dalam pandangannya, para penjual koran itu bisa mengganggu lalu lintas dan membahayakan keselamatan. Terlebih lagi yang menggendong anaknya ataupun yang menyuruh anaknya berjualan, tak ada bedanya mereka dengan pengemis. Bisa jadi orang malah membeli koran karena kasihan pada mereka, bukan karena butuh berita. Apa nanti korannya dibaca? Atau malah jadi pembungkus barang-barang di rumah? Entahlah, pikirnya.

Seorang wanita berumur 40-an menghampirinya, menawarkan koran. Kulit wanita itu kehitaman karena sering tersengat matahari. Walaupun sudah pakai jilbab dan bertopi, wajah itu tak bisa sepenuhnya terlindung dari matahari dan asap kendaraan. Bukan hanya kehitaman, wajah wanita itu juga kusam. Wanita itu hanya tersenyum padanya sambil mengangkat sebuah koran lokal. Lelaki itu kemudian menggeleng dan memaksakan sebuah senyum. Lampu hijau menyala, lelaki itupun melajukan motornya. Lewat spion dilihatnya sejenak wanita itu....

***

"Bu, Aku mau cari kerjaan lain..." ucap lelaki itu pada ibunya yang sedang menyiram bunga-bunga dalam pot. Sengaja dia menunggu ayahnya pergi kerja untuk mencurahkan kegalauannya pada sang ibu.

Sang ibu belum menjawab, terus saja menyirami bunga-bunga. Ketika air dalam penyiram itu habis, duduklah ia di kursi samping anaknya.
 "Kamu sudah dapat kerjaan baru?"
 "Belum Bu, rencananya hari ini mau cari info lowongan"
 "Kamu masih ga mau kerja honor di kantor Ayah?"
 "Ga!"

Sesaat, hening di beranda rumah itu. Keduanya mungkin terkenang kejadian masa lalu, yang cukup membekas di keluarga itu. Sang Ayah pernah berusaha memasukkan sang anak sebagai tenaga honorer di kantor tempatnya bekerja. Pimpinan di perusahaan itu sudah meluangkan waktu untuk bertemu dengan sang anak. Dan betapa berangnya sang Ayah karena sang anak menolak posisi yang ditawarkan pimpinannya. Alasan sang anak, posisi itu tidak cocok untuknya. Tidak profesional jika kita mengerjakan sesuatu yang tidak kita sanggup. Tidak kompeten. Lebih dari itu, sang anak tak mau dianggap melakukan praktik nepotisme, diterima kerja hanya karena suka sama suka.

"Jadi sekarang kamu mau kerja apa?"
 "Belum tahu Bu"

Sang ibu sejenak menarik nafas panjang, kemudian berkata:
 "Ya udah, cari kerjaan yang mantap, yang senang hati kamu lakukan, urusan gaji belakangan. Hari ini kamu masih ke kantor kan?"
 "Iyalah Bu, masa Aku keluar begitu aja, ga profesional namanya."

Lelaki itu menyalami dan mencium tangan ibunya.

"Aku pergi dulu Bu"
 "Ya, hati-hati ya"

Dengan hati yang terasa ringan dibanding kemarin, lelaki itu berangkat dengan motornya. Perbincangan dengan sang ibu seakan menjadi restu baginya untuk mencari pekerjaan baru. Doa dan restu dari ibu penting, karena belum pernah di dunia ini ada yang bilang: surga di telapak kaki ayah. Begitu pikirnya.

Dalam perjalanan menuju kantor, lelaki itu melalui rute berbeda. Tujuannya adalah sebuah toko buku, dia hendak membeli koran lokal terbaru. Kalau saja dia melewati rute biasa, tentu dia akan melewati simpang yang ada penjual korannya. Tapi dia lebih suka membeli koran di toko, bukan dari penjual di lampu merah. Sebenarnya dia sudah bolak-balik ke berbagai situs lowongan kerja, tapi tak menemukan yang cocok baginya. Kalaupun ada yang dirasa cocok, lokasinya cukup jauh. Seorang rekannya yang sudah senior menyarankan koran lokal untuk mencari info lowongan terbaru.

Hari masih pagi ketika dia datang di toko buku itu. Koran dan tabloid terbaru dipajang di etalase kayu dekat pintu masuk. Ketika masih SMA dia ingat, dulu orang-orang sampai berjejalan di etalase itu, membaca koran dan tabloid terbaru. Bahkan dia ingat, suka mengintip tabloid yang sampulnya wanita seksi berpakaian minim. Sekarang situasi jauh berbeda. Orang-orang seakan bisa mengakses apapun dari HP mereka. Tapi tetap ada hal yang hanya bisa didapat dari koran dan media cetak. Salah satunya mungkin adalah lowongan yang sedang dicarinya.

Suasana toko buku itu masih sepi, para karyawan terlihat mempersiapkan barang-barang yang hendak dijual di toko itu. Dia mengambil sebuah koran lokal terbaru dan membayar ke kasir. Dibacanya koran itu di teras toko, sambil berdiri. Halaman pertama tak dipedulikannya, dibaliknya lembar demi lembar mencari bagian yang berisi lowongan kerja.

Harap-harap cemas hatinya. Ketika sampai di bagian iklan baris, dia mendapati cukup banyak iklan lowongan. Ditelusurinya satu per satu, dari atas sampai ke bawah, dari satu kolom ke kolom lainnya. Ahhh, agak kecewa dia karena tak juga menemukan lowongan yang terasa pas di hatinya.

Dilipatnya kembali koran itu dan diselipkannya di ketiak. Sekarang dia kembali bimbang. Bahkan untuk berangkat ke kantor pun dia jadi enggan. Berusaha menutupi kebimbangannya, lelaki itu kembali ke etalase tempat memajang koran dan tabloid. Dilihatnya satu per satu judul yang dipajang di sana. Ada sedikit rasa prihatin yang dirasakannya melihat koran dan tabloid itu. Siapakah yang akan membelinya? Mungkin ada satu dua. Tapi menurutnya, pasti ada sebagian besar yang tak laku. Dunia sudah berubah, tegasnya pada diri sendiri.

Lamunannya terhenti ketika seorang bapak menghempaskan setumpuk koran dan tabloid di sampingnya. Dilihatnya ada stiker sebuah maskapai pesawat di plastik yang membungkus koran dan tabloid itu. Berarti koran dan tabloid itu baru saja datang diantarkan dengan pesawat. Ketika paket itu dibuka, dilihatnya ada beberapa judul koran dan tabloid. Yang paling banyak adalah koran Barometer. Koran yang legendaris, bukan hanya karena usianya yang sudah masuk setengah abad dan masih terlihat perkasa.

Tapi baginya, koran Barometer juga mengingatkan pada sang kakek yang sudah almarhum. Jika mengenang kakeknya, yang muncul di kepalanya adalah seorang tua yang berkharisma, mungkin karena beliau adalah seorang pengajar yang berdedikasi, di sebuah sekolah di kampungnya. Sering dilihatnya pada saat senggang, sang kakek membaca koran Barometer di beranda rumah.

Selain Barometer, dalam paket yang dibawa bapak itu juga ada tabloid Novia, tabloidnya ibu-ibu. Dulu Ibunya cukup sering membeli Novia, walau hanya eceran. Kadang Ibunya masih membeli Novia sekarang, walau hanya untuk melihat resep-resep masakan terbaru.

Lelaki itu kemudian berjalan lesu menuju parkiran toko buku. Dihidupkan dan dilajukannya motor dengan pelan. Kini arahnya makin tak jelas. Bagaimana kalau Aku membolos saja hari ini, pikirnya. Bilang saja alasannya sakit. Bukankah pusing juga penyakit? Ada sebuah taman yang rindang dekat toko buku itu, ke sanalah lelaki itu melarikan diri, untuk sementara.

Hanya angin pagi yang sepoi, kicau burung, dan cahaya mentari jelang siang yang menemani lelaki itu merenung. Dia duduk di batu granit yang memagari sebuah pohon di taman itu. Ukurannya cukup besar, bahkan dia bisa berbaring di sana. Dalam keheningan dan kedamaian, dia lalu memejamkan mata....

***

Lelaki itu jelang kepala tiga, bisa dibilang masih muda. Tapi ia merasa sudah tertinggal. Kawan-kawan seumurannya sudah banyak yang hidup mandiri dan berkeluarga. Jangankan beristri, kekasih pun ia tak punya saat ini, tinggal pun masih bersama orang tua. Ia merasa sudah berusaha keras mengubah nasibnya, dengan bekerja sebaik mungkin di tempat kerjanya.

Mengenai keuangan, dia juga merasa kecewa. Walaupun masih tinggal bersama orang tua, dia heran kenapa gajinya masih terasa kurang, seakan numpang lewat saja di rekeningnya. Sebagai bujangan dia harusnya bisa menyimpan lebih dalam tabungan. Dia jadi merasa bersalah telah membeli koleksi film-film orisinil kesukaannya dan barang-barang lain macam kamera mahal itu, yang jarang dipakainya. Bahkan dengan adik perempuannya dia kalah jauh, yang sudah menikah walau masih kuliah.

Kakaknya yang perempuan juga sudah menikah dan bekerja di sebuah bank nasional. Betapa bangganya sang ayah pada kakaknya itu. Sebagai anak lelaki satu-satunya, dia merasa malu. Jauh di lubuk hati, dia merasa perlu merubah arah hidup. Tapi kemana arah yang harus ditempuhnya?

Azan zuhur yang berkumandang dari mesjid dekat taman membangunkan lelaki itu. Dia terduduk, mengumpulkan kesadarannya. Segera dia beranjak menuju motornya. Kali ini langkahnya terlihat pasti, seakan baru dapat inspirasi. Dihidupkan dan dilajukannya motor, brrrmmmm....

***

Dua bulan kemudian...

Lelaki itu menurunkan kecepatan motor, mengganti gigi 4 ke gigi 3 sambil mengerem sedikit. Dia akan memasuki jalur kesukaannya, Kelok 44. Di jalur ini dia bisa melatih keterampilan bermotor. Tiap kelokan punya kesulitan berbeda. Butuh keahlian mengatur gas, rem, dan gigi untuk melalui Kelok 44 dengan mulus. Tertib lalu lintas juga perlu, kendaraan yang mendaki hendaknya diberi jalan lebih dulu.

Yang paling dinikmatinya ketika melewati Kelok 44 adalah pesona alamnya: pemandangan danau Maninjau yang indah, sawah-sawah, rimbunnya pohon-pohon, dan udaranya yang sejuk segar. Jika momennya menarik untuk diabadikan, dia akan berhenti sebentar dan memfotonya dengan kamera. Akhirnya berguna juga kamera mahal itu, pikirnya.

Dua bulan lalu ketika baru menjajal Kelok 44 dengan motor, betapa sering dia berhenti. Mulai dari daerah Embun Pagi -dimana danau mulai tampak- sampai kelok terbawah, semua terasa begitu indah. Tak ubahnya dia seperti turis, sibuk memotret. Tapi sekarang, dia hanya berhenti kalau ada momen yang unik. Misalnya ketika matahari masih mengintip dari balik bukit di pagi hari, cahayanya yang menerangi danau dan langit yang bersih adalah kombinasi serasi.

Baginya, ini adalah mimpi yang jadi nyata. Bekerja di kampung yang selalu dirindukannya. Dia telah berani mengambil keputusan yang merubah haluan hidupnya. Tak ada lagi nongkrong di kafe atau cuci mata di mal. Dia sedang berusaha menuju kemandirian finansial, dengan melakukan pekerjaan yang sesuai panggilan hatinya.

Satu hal penting mengenai uang yang baru dipahaminya adalah bagaimana mengontrol pengeluaran. Jika uang berlebih alangkah baiknya diputar lagi dalam berbagai cara. Sederhananya, pemasukan lebih besar dari pengeluaran. Entah kenapa dulu matanya seakan buta, padahal bekerja sebagai sales di perusahaan distributor.

Hari ini ada pasar mingguan di sebuah desa pinggir danau. Dia singgah di pasar itu untuk sarapan sekaligus mengantarkan dagangannya ke sebuah warung. Ahhh, betapa nikmat bubur kacang hijau campur ketan itu, menu favoritnya. Entah mana yang paling nikmat sebenarnya, menu itu, atau sepotong pemandangan menghadap danau di pagi hari.

Usai sarapan, dia berjalan ke parkiran motor, hendak mengambil dagangannya yang tadi dibawa dari Bukittinggi. Dibukanya boks yang terpasang kokoh di belakang jok motornya. Diambilnya setumpuk koran, tabloid, dan majalah yang sudah disiapkan untuk warung fotokopi dekat pasar. Ya, inilah pekerjaan baru yang sudah dua bulan dijalaninya, lelaki itu sudah jadi penjual koran di kampungnya.

***

Adam Perdana

Lahir 3 November 1985 di Maninjau. Sedang belajar menulis cerpen secara otodidak. Komentar dan kritik terhadap cerpen ini dapat juga disampaikan melalui Facebook: @KaryaAdamPerdana atau Twitter : @AdamPerdana007.

Pesan penulis: “untuk semua penjual koran di jalanan, berhati-hatilah. Jangan bawa anak kecil apalagi menyuruh mereka berjualan koran.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun