Mohon tunggu...
Adam Perdana
Adam Perdana Mohon Tunggu... lainnya -

Saya menulis, maka saya Eksis. www.facebook.com/AdamPerdana007

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Lelaki yang Benci Penjual Koran

1 Agustus 2016   17:22 Diperbarui: 1 Agustus 2016   18:11 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari http://www.sternlawnj.com

Hanya angin pagi yang sepoi, kicau burung, dan cahaya mentari jelang siang yang menemani lelaki itu merenung. Dia duduk di batu granit yang memagari sebuah pohon di taman itu. Ukurannya cukup besar, bahkan dia bisa berbaring di sana. Dalam keheningan dan kedamaian, dia lalu memejamkan mata....

***

Lelaki itu jelang kepala tiga, bisa dibilang masih muda. Tapi ia merasa sudah tertinggal. Kawan-kawan seumurannya sudah banyak yang hidup mandiri dan berkeluarga. Jangankan beristri, kekasih pun ia tak punya saat ini, tinggal pun masih bersama orang tua. Ia merasa sudah berusaha keras mengubah nasibnya, dengan bekerja sebaik mungkin di tempat kerjanya.

Mengenai keuangan, dia juga merasa kecewa. Walaupun masih tinggal bersama orang tua, dia heran kenapa gajinya masih terasa kurang, seakan numpang lewat saja di rekeningnya. Sebagai bujangan dia harusnya bisa menyimpan lebih dalam tabungan. Dia jadi merasa bersalah telah membeli koleksi film-film orisinil kesukaannya dan barang-barang lain macam kamera mahal itu, yang jarang dipakainya. Bahkan dengan adik perempuannya dia kalah jauh, yang sudah menikah walau masih kuliah.

Kakaknya yang perempuan juga sudah menikah dan bekerja di sebuah bank nasional. Betapa bangganya sang ayah pada kakaknya itu. Sebagai anak lelaki satu-satunya, dia merasa malu. Jauh di lubuk hati, dia merasa perlu merubah arah hidup. Tapi kemana arah yang harus ditempuhnya?

Azan zuhur yang berkumandang dari mesjid dekat taman membangunkan lelaki itu. Dia terduduk, mengumpulkan kesadarannya. Segera dia beranjak menuju motornya. Kali ini langkahnya terlihat pasti, seakan baru dapat inspirasi. Dihidupkan dan dilajukannya motor, brrrmmmm....

***

Dua bulan kemudian...

Lelaki itu menurunkan kecepatan motor, mengganti gigi 4 ke gigi 3 sambil mengerem sedikit. Dia akan memasuki jalur kesukaannya, Kelok 44. Di jalur ini dia bisa melatih keterampilan bermotor. Tiap kelokan punya kesulitan berbeda. Butuh keahlian mengatur gas, rem, dan gigi untuk melalui Kelok 44 dengan mulus. Tertib lalu lintas juga perlu, kendaraan yang mendaki hendaknya diberi jalan lebih dulu.

Yang paling dinikmatinya ketika melewati Kelok 44 adalah pesona alamnya: pemandangan danau Maninjau yang indah, sawah-sawah, rimbunnya pohon-pohon, dan udaranya yang sejuk segar. Jika momennya menarik untuk diabadikan, dia akan berhenti sebentar dan memfotonya dengan kamera. Akhirnya berguna juga kamera mahal itu, pikirnya.

Dua bulan lalu ketika baru menjajal Kelok 44 dengan motor, betapa sering dia berhenti. Mulai dari daerah Embun Pagi -dimana danau mulai tampak- sampai kelok terbawah, semua terasa begitu indah. Tak ubahnya dia seperti turis, sibuk memotret. Tapi sekarang, dia hanya berhenti kalau ada momen yang unik. Misalnya ketika matahari masih mengintip dari balik bukit di pagi hari, cahayanya yang menerangi danau dan langit yang bersih adalah kombinasi serasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun