Ada banyak sawah wakaf milik surau yang digarapnya bersama Ajo Mansur, seorang ulama yang lama tinggal di Surau Koto Runciang. Di samping Abak dan Amak bertanam padi, juga ada bertanam cabai. Sebab, model sawah di kampung itu harus diselingi. Sekali padi, sekali dengan tanaman lain.
Saat bertanam cabai, Abak sering kongsi dengan Apak Ali Munir, seorang Kepala Dusun di kampung itu. Panen cabai dua kali seminggu; Jumat dan Selasa. Aku acap ikut mengambil cabai demikian. Boleh di bilang, di samping padai tukang rumah, Abak juga seorang petani.
Kalau tukang rumah, agaknya itu kepandaian Abak yang langsung diajarkan oleh ayahnya; Sirin Labai Mangkuto. Saat Abak dinobatkan jadi labai di Surau Koto Runciang, menggantikan Apak Labai Usin yang meninggal dunia, aku masih sangat kecil. Belum sekolah, tapi aku sudah tahu, dan ikut melihat prosesi itu di kampungnya, Koto Runciang.
Namun sangat disayangkan, kelak aku tak pandai bertani dan tukang. Aku melihat, Abak tak ingin anaknya susah menjalani hidup, seperti yang sudah dialaminya.
Abak pernah terjatuh saat memasang atap rumah orang. Untuk ini, aku tak pernah diajarkan untuk pandai menjadi tukang itu pula. Malah setamat sekolah dasar, aku diserahkan melanjutkan pendidikan ke pesantren. Saat aku kecil, kampung Koto Runciang yang saat itu bagian dari Desa Guguak masih terbilang ramai.
Kawan sepermainan banyak. Sambil menggembalakan ternak, aku juga sering main karet, main gambar. Kalau malam main endap-endapan di surau itu. Main bola di halaman surau atau di tengah sawah yang habis dipanen juga acap kami lakukan.
Sekarang, aku lihat Koto Runciang semakin sepi. Apalagi surau milik kaum Suku Sikumbang itu dipindahkan ke Kajai, kampung kecil dalam Koto Runciang yang berbatasan dengan Desa Padang Bungo, karena di situ banyak rumah penduduknya.
Pernah Abak mengajak aku bekerja di rumah orang, tapi tak sering. Hal itu saat aku pulang kampung dari pesantren Padang Magek dan Lubuk Pandan. Kekerasan didikan Abak yang aku rasakan, kalau yang kita buat tak diingininya, dia marah mintak ampun.
Lain pula dengan didikan yang Amak berikan ke aku dengan berjualan sebelum sekolah. Kekerasan Abak ke aku mulai berkurang, saat aku sudah belajar di pesantren. Setiap hari Amak membuat makanan jenis mangkuak, Amak butuh tepung yang diolah dari beras dolok. Beras itu ditumbuk dua kali seminggu.
Aku dan adik-adik sama Amak pergi menumbuk beras tersebut di lesung milik Buyuang Katan. Kami membantu menjongkekkan kayu besar, yang alunya memecah beras. Lama di tumbuk, beras yang tadinya kasar jadi halus, lalu di ayak dan jadilah barang itu tepung. Dinamakan tepung beras.
Tepung dijemur oleh Amak agar bisa dibikin mangkuak yang rancak. Mangkuak itulah yang aku jual menjelang masuk kelas tatkala sekolah SD dulu. Lama juga numpang numbuk tepung di tempat Buyuang Katan. Kemudian, Abak membuat pondok tempat menumbuk itu, yang lesungnya dibawa dari rumah Amak Uwo. Dengan uang jualan itulah kami membantu kemasukan uang rumah tangga.