Mohon tunggu...
Syarief-Ahmad
Syarief-Ahmad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rakyat pada umumnya, biasa-biasa saja, nggak ada yang istimewa.. bocahsore.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Itu Mudah

18 April 2017   07:01 Diperbarui: 18 April 2017   09:27 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

-Ibarat curhat

Kita sama-sama tahu bahwa manusia merupakan makhluk sosial, keberadaanya selalu membutuhkan interaksi dengan manusia yang lain. Sudah lazimnya bahwa setiap berinteraksi dengan manusia lain, pasti akan timbul gesekan-gesekan emosional. Ini saya sebut efek dari interaksi itu, baik berupa senang, sedih, gembira, benci, muak, tidak dimengerti dan lain sebagainya.

Biasanya, dalam konteks ini, setelah kita berinteraksi dengan orang yang dibenci akan muncul efek tidak harmonis, saat itulah hati kita akan merasa terbelenggu karena memendam beban (Baper) hehe...

Tenang aja, ketika kamu tidak menemukan satu teman yang pas untuk diajak cerita. Menulis bisa jadi solusi yang paling tepat. Ketika hatimu sedang sepi dan bahkan tidak dimengerti orang lain sekalipun, maka menulislah. Setidaknya dalam buku harianmu, karena dengan menulis, paling tidak perasaan dan hatimu akan terbebaskan-cerah.

 Menulis memang kebutuhan yang sama pentingnya dengan curahan hati, dengan menulis niscaya akan membuat hati tenang. Bukankah kamu terbiasa curhat berjam-jam dengan temanmu. Begitu juga dengan menulis, kamu bisa curhat dalam bentuk tulisan yang bisa kau abadikan. Curhat dengan teman akan menguap dan hilang, tetapi dengan tulisan itu akan abadi dan terkenang sapanjang kamu bisa menjaganya, tulisan yang biasa kita sebut coretan semacam ini bukan tidak ada gunannya, tetapi ini bisa menjadi satu daya rangsang kamu melatih memainkan diksi, dan menjahit kata demi kata menjadi paragraf yang menyenangkan dan menyentuh perasaan.

Setelah kamu terbiasa menulis dengan curahan-curahan hati, pada taraf selanjutnya mulailah mencoba untuk menulis hal-hal yang bersinggungan dengan kehidupan disekitarmu. Semisal menulis tentang pendidikan, sosial, tentang lingkungan dan lain sebagainya. Kebiasaan ini akan membuat kamu lebih peka dan akhirnya terbiasa untuk menuangkan semua kegelisahan dalam bentuk tulisan yang baik, dan tentunya memiliki nilai karya yang bisa kamu banggakan.

Sudah banyak tercatat dalam sejarah, bahwa orang-orang kebanyakan tidak pernah menyangka karya yang remeh temeh semacam buku harian bisa terbit menjadi sebuah buku yang fenomenal. Kalau kamu pernah baca buku ‘Pergolakan Pemikiran Islam’ yang ditulis Ahmad Wahib. Buku itu terbit dari catatan harian seorang pemuda bernama Wahib yang selalu menuangkan kegelisahanya selama menjadi mahasiswa dalam sebuah bentuk catatan harian.

Wahib mulai menulis catatan itu kisaran tahun 1966. Setiap hari yang dia lalui selama menjadi mahasiswa terekam apik dalam bentuk tulisan, lengkap dengan hari, tanggal dan materi yang digelisahkan. Barangkali waktu itu, Wahib sendiri tidak pernah menyangka, bahwa tulisannya yang berbentuk catatan harian itu bisa begitu berharga, menarik, dan kemudian di bukukan. Sampai hari ini bisa kita bayangkan, tulisan Wahib itu sudah mengilhami ratusan, ribuan atau bahkan jutaan anak muda yang lain.

Wahib sendiri meninggal dunia di usia yang sangat muda, 31 tahun. Kemudian setelah delapan tahun kematiannya, kumpulan tulisan dari hasil renungan-renungan yang berjumlah sepuluh jilid lampiran itu bisa dibukukan. Memang mengesankan seolah-olah catatan harian itu menjadi wakil bagi diri Wahib untuk hadir dalam setiap pergulatan pemikiran yang akan terjadi di masa depan.

Dalam satu catatan yang sangat menggoda yang di tulis Wahib 11 Juni 1969, dia sempat menulis “lihat catatan-catatan dalam buku ini, dan bacalah bagaimana saya bicara terus terang....Wahib seperti sudah mengerti, begitu akan sangat berharganya catatan yang ia tulis, yang kemudian di kokohkan dengan pengakuan dari DJohan Effendi, sahabat dekatnya Wahib, Ia menceritakan, Wahib sudah sejak kisaran tahun 1966 mulai berikhtiar, berfikir keras, mencoba untuk merumuskan renuangannya. Namun, baru akhir tahun 1968 sampai beberapa hari sebelum kematiannya renungan itu mulai ditulisnya dengan rapi.

Menarik bukan, sebuah coretan yang mungkin hari ini kita anggap tidak penting ternyata, akan ada massanya itu begitu sangat berarti dan memberikan pencerahan luar biasa dimasa mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun