Mohon tunggu...
Achmed Hibatillah
Achmed Hibatillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

Mahasiswa yang konsisten berjuang untuk transformasi sosial demi terciptanya masyarakat egaliter.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karakter "Ideologi" Pancasila

1 Juni 2023   00:46 Diperbarui: 8 Juni 2023   02:12 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garuda Pancasila. Sumber: sampoernauniversity.ac.id

Mereka terhimpit oleh dua kelas besar — borjuasi dan proletariat — sehingga selalu mengikuti gerakan dari kelas-kelas yang menguntungkan bagi mereka. Apabila mereka mendapatkan keuntungan dari borjuasi besar, mereka akan menjilat borjuasi besar. Apabila mereka dihantam suatu krisis, mereka merasakan memiliki kesamaan nasib dengan kelas pekerja, dengan demikian mereka mendukung gerakan kelas pekerja.

Sebagai borjuasi kecil, tokoh-tokoh lokal seperti Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno mengalami ketergantungan pada borjuasi besar atau kapital asing. Mereka harus mengikuti gerakan kelas yang memberikan keuntungan bagi mereka. Watak borjuasi kecil yang umum adalah opportunis dan pengecut, karena mereka harus selalu beradaptasi dengan situasi dan kepentingan yang berbeda. Misalnya Soekarno, ia harus mendapatkan "restu" dari Jepang terlebih dahulu agar Indonesia dapat merdeka. Ini berkaitan dengan watak borjuasi kecil secara umum yang bersifat oportunis. 

Pancasila pun demikian. Ia masih bimbang. Dapat digunakan dengan mudah oleh kelas manapun. Pancasila, sebagai hasil dari perumusan Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno, memiliki kompleksitas yang mencerminkan dinamika sosial-politik pada masa itu. Dibalik itu, para perumusnya memiliki watak kelas borjuasi kecil .

Dari BPUPKI hingga BPIP

Pembentukan Pancasila dimulai dengan pendirian Dokuritsu Jyunbi Chousakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Maret 1945 oleh pemerintahan pendudukan Jepang, yang juga bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Persidangan BPUPKI berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Selanjutnya, pembentukan Panitia Sembilan dilakukan. Versi Pancasila dalam Piagam Jakarta, yang merupakan hasil dari Panitia Sembilan, mencantumkan Sila Pertama yang menyatakan, "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Namun, upaya penghapusan frasa "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dilakukan oleh Hatta sebagai tanggapan terhadap usulan A.A. Maramis dengan melibatkan negosiasi dengan kelompok Islamis seperti Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo. Akhirnya, Pancasila tidak menjadi dasar hukum Islam dan negara Islam, namun juga tidak menjadi dasar negara sekuler. Posisinya berada di tengah-tengah dan ambigu.

Pemilihan Umum tahun 1955 menunjukkan kemenangan Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu 1955 juga memilih anggota Konstituante yang bertugas untuk membentuk Undang-Undang Dasar baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Di dalam Konstituante, terbentuk tiga blok yaitu Blok Pancasila yang terdiri dari PNI, PKI, Republik Proklamasi, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan sebagainya; Blok Islam: Masyumi, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan sebagainya; serta Blok Sosio-Ekonomi: Partai Buruh, Partai Murba, dan Partai Acoma. 

Blok Islam mendorong Islam sebagai dasar negara yang bertentangan dengan Blok Pancasila. Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU, Kiai Ahmad Zaini, menyatakan bahwa Pancasila adalah "rumusan yang ambigu" dan dapat membenarkan keberadaan "penyembah pohon". Sementara itu, perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa makna Sila Pertama Pancasila terlalu kabur dan dapat ditafsirkan oleh setiap kelompok agama sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit presiden yang mengembalikan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dekrit Presiden tersebut dikeluarkan sebagai respons terhadap ketidakmampuan Konstituante dalam mencapai mayoritas dua pertiga suara parlemen mengenai rancangan undang-undang baru. Sebagai gantinya, terbentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat langsung oleh Soekarno. DPR-GR melibatkan perwakilan dari partai politik serta serikat buruh, kelompok petani, dan lain-lain. Namun, keberadaan Angkatan Bersenjata dalam DPR-GR juga diterima dengan konsekuensi pengakuan militer dalam politik.

Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tahun 1959, Soekarno menyampaikan prinsip-prinsip Pancasila dalam pidato-pidato kenegaraannya yang berjudul Manifesto Politik, Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol USDEK), Jalannya Revolusi Kita (Jarek), Membangun Dunia Kembali, Tahun Kemenangan (Takem), Revolusi, Sosialisme Indonesia, Pimpinan Nasional (Resopim), dan Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri). Dalam praktek dan pemikirannya, politik Soekarno dari awal hingga jatuhnya pemerintahannya mencerminkan berbagai kontradiksi. Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, "...kita harus mencari kesepakatan pemahaman. Kita bersama-sama mencari landasan filosofis yang menyatukan, mencari satu pandangan dunia yang kita semua setujui." Namun, setelah Belanda pergi pada tahun 1950-an, Dekrit Presiden, Demokrasi Terpimpin, dan lain-lain semakin mengarah ke kiri dalam praktek dan pemikiran mengenai Pancasila. Soekarno menganjurkan persatuan antara Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) melalui pembangunan Front Nasional, tetapi pada saat yang sama juga membagi kekuatan-kekuatan tersebut, di mana ia menuntut kesatuan dari kelompok kiri dan revolusioner dalam ketiga aliran ini. Ini merupakan pandangan Sukarno tentang "mempersatukan semua kekuatan revolusioner." Sejak tahun 1924 melalui tulisannya "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme," Soekarno telah mendorong persatuan antara tiga aliran ini. Selain itu, Masyumi dan PSI dilarang karena terlibat dalam pemberontakan. Seiring itu, kampanye anti antek neokolonialisme, imperialisme, anti kapitalis birokrat, serta nasakom gadungan juga dilakukan. Hal tersebut memicu respons dari sayap kanan, seperti munculnya Manifest Kebudayaan.

Setelah periode Reformasi, Pancasila kembali menjadi sorotan utama pada masa pemerintahan Jokowi. Pada tanggal 7 Juni 2017, Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) didirikan. UKP-PIP bertugas untuk mengoordinasikan, mengendalikan, dan memperbaiki pengajaran Pancasila di sekolah-sekolah. Yudi Latief menjabat sebagai Kepala UKP-PIP, dengan anggota termasuk Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Mahfud MD, Syafii Maarif, KH Maruf Amin, KH Said Aqil Siradj, Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek. Kemudian, pada tanggal 28 Februari 2018, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk melalui Peraturan Presiden No 7 Tahun 2018. Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, dan Yudi Latief sebagai Kepala BPIP. Komposisi anggota BPIP sama dengan UKP-PIP. Namun, Yudi Latief kemudian mengundurkan diri dari jabatannya.

Kehadiran UKP-PIP dan kemudian BPIP terkait dengan perkembangan gerakan dan ideologi fundamentalis Islam. Beberapa kelompok fundamentalis Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI), berpendapat bahwa Pancasila yang asli adalah Piagam Jakarta. Rizieq Shihab, pemimpin FPI, menyatakan bahwa "Pancasila-nya Soekarno, Ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala." Rizieq juga mengusulkan konsep NKRI Bersyariah, yaitu sebuah negara yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 asli yang diperkuat oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sesuai dengan amanat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di sisi lain, Jokowi menghubungkan Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika, mengedepankan keberagaman, toleransi, serta bersikap waspada dan tegas terhadap organisasi dan gerakan yang menentang Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan komunisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun