Mohon tunggu...
Achmed Hibatillah
Achmed Hibatillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

Mahasiswa yang konsisten berjuang untuk transformasi sosial demi terciptanya masyarakat egaliter.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karakter "Ideologi" Pancasila

1 Juni 2023   00:46 Diperbarui: 8 Juni 2023   02:12 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garuda Pancasila. Sumber: sampoernauniversity.ac.id

Untuk memahami apakah Pancasila merupakan sebuah ideologi atau tidak, kita perlu memahami pengertian dari ideologi beserta karakter dari Pancasila. Ideologi adalah suatu cita-cita yang merepresentasikan kepentingan kelas atau kelompok tertentu. Sifat dari ideologi adalah eksklusif, atau ia harus bisa diadopsi oleh kelompok yang menggunakannya dan tidak bisa digunakan oleh kelompok lainnya. Ibarat sosialisme dan liberalisme. Sosialisme adalah gagasannya kaum buruh, ia merepresentasikan kepentingan kelas pekerja dan tidak mungkin diadopsi oleh kelas kapitalis. Jika kelas kapitalis mengadopsi sosialisme, itu hanyalah bentuk sosialisme yang utopis. Jika memang mereka benar-benar mengadopsi sosialisme ilmiah, maka hancur sudahlah profit mereka, dengan demikian lenyaplah kapital mereka ke tangan kelas pekerja. Ini bertentangan dengan kepentingan kelas kapitalis, maka tak mungkin kelas kapitalis mengadopsi sosialisme. Demikian pula dengan liberalisme yang tidak mungkin diadopsi oleh gerakan kelas pekerja. 

Disisi lain, Pancasila dapat diadopsi oleh kelompok atau kelas manapun. Pancasila bersifat inklusif dan universal. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki karakteristik yang mampu mencakup kepentingan dan karakter-karakter yang beragam dalam masyarakat. Lima sila dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memberikan landasan yang dapat diakui dan diadopsi oleh berbagai kelompok atau kelas. Ia tak eksklusif. Pancasila tidak secara eksklusif mewakili kepentingan kelas tertentu, melainkan mencerminkan semangat kesatuan dan persatuan dalam kerangka negara yang beragam. Hal ini terlihat dari upaya Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelas yang saling bertentangan. Pancasila dianggap sebagai landasan yang dapat dipahami dan diadopsi oleh semua elemen masyarakat Indonesia tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, agama, atau politik mereka. 

Dengan demikian, Pancasila bukanlah sebuah ideologi. Pancasila tidaklah eksklusif dan hanya mewakili kepentingan kelas atau kelompok tertentu, tetapi merupakan suatu konsep yang dapat diadopsi oleh semua kelompok atau kelas dalam masyarakat Indonesia. Pancasila, di sisi lain, terdiri dari lima sila yang sangat umum. Sila-sila yang secara umum diterima ini memungkinkan Pancasila diterima oleh semua kekuatan politik pada saat perumusannya. Pancasila lebih merupakan asas, landasan bersama, atau semacam kontrak sosial. Kontrak sosial adalah kesepakatan dari para pendiri negara-bangsa mengenai asas-asas yang bisa diterima untuk menjelaskan asal-usul masyarakat serta memberikan legitimasi atas otoritas negara terhadap individu. Konsep tentang kontrak sosial yang muncul pada zaman pencerahan merupakan hasil dari perjuangan ideologis para teoretikus dan filsuf borjuis awal yang hebat seperti Jean-Jacques Rousseau, Thomas Hobbes, John Locke, Immanuel Kant, dan lainnya. 

Oleh karena itu, prinsip kontrak sosial merupakan bagian integral dari perubahan revolusioner menuju revolusi demokratik nasional. Revolusi demokratik nasional merujuk pada perubahan mendasar dan menyeluruh yang melibatkan penggulingan sistem feodal dan pendirian sistem kapitalis. Tugas-tugas dalam revolusi demokratik nasional umumnya diemban oleh kelas borjuis. Tugas-tugas tersebut termasuk pembentukan negara dengan batas wilayah yang jelas serta pasar nasional yang terorganisir, modernisasi masyarakat, dan pengembangan industri nasional. Selain itu, revolusi ini juga berupaya menghapuskan sistem penindasan, di mana pemilik tanah memiliki kekuasaan mutlak atas tanah dan petani harus bekerja dan memberikan upeti, membayar sewa tanah, atau memberikan hasil panen kepada mereka. Reforma agraria menjadi salah satu cara dalam pelaksanaan ini. Selain itu, tujuan revolusi demokratik nasional adalah menggantikan sistem kerajaan dengan republik, menggantikan monarki dengan parlemen, menggantikan sistem teokrasi dengan demokrasi, serta menggantikan kelas bangsawan dengan masyarakat sipil yang setara. Revolusi demokratik juga memiliki tugas penting dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional, membebaskan diri dari penjajahan, dan menjadi negara berdaulat yang merdeka.

Pancasila juga sering dianggap sebagai hasil orisinal dari Indonesia, yang berasal dari penggalian nilai-nilai yang sesuai dengan berbagai adat, norma, dan pandangan di Nusantara. Namun, tak dapat disangkal bahwa Pancasila juga dipengaruhi oleh banyak gagasan dari Liberalisme. Liberalisme, sebagai pendorong revolusi demokratik nasional seperti Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, dan sebagainya, memberikan pengaruh pada Pancasila. Gagasan "Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan" yang terkandung dalam moto "Liberté, égalité, Fraternité" secara tak langsung tercermin dalam Pancasila. Kebebasan dari penindasan dan penjajahan, kesetaraan di hadapan hukum, serta persaudaraan dan persatuan manusia, yang sebelumnya didasarkan pada kesetiaan terhadap dinasti raja penguasa, digantikan oleh semangat negara-bangsa. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam empat sila Pancasila, kecuali sila pertama. Selain itu, gagasan tentang HAM juga menginspirasi sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab." Posisi Pancasila dalam revolusi demokratik nasional serupa dengan Declaration of Independence Amerika Serikat dan Declaration des Droits de L'homme et du Citoyen de 1789 atau "Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga 1789" yang merupakan hasil dari Revolusi Prancis.  

Bagaimanapun juga, Pancasila mengalami banyak keterbatasan akibat revolusi demokratik Indonesia yang terdisabilitasi. Pertama, perumusannya melalui proses kolaborasi dengan rezim fasis kolonial Jepang dan di bawah pengawasan langsung aparat militer mereka. Bagi mereka yang menempuh taktik kerja sama, kolaborasi dengan Jepang memungkinkan Indonesia mendapatkan janji kemerdekaan, pelatihan militer warga melalui Pembela Tanah Air (PETA), serta penyebaran dan perkembangan bahasa Indonesia secara pesat. Namun, hal ini juga diiringi oleh penindasan yang luar biasa, seperti pembubaran semua organisasi kecuali yang disetujui oleh Jepang, penculikan, penyiksaan, kamp kerja paksa Romusha, dan perbudakan seksual Jugun Ianfu.

Tugas penting lain dari revolusi demokratik adalah penghapusan teokrasi dan penggantinya dengan demokrasi. Sebelumnya, dalam tatanan masyarakat feodalisme, institusi kelas penguasa yang umumnya berupa kerajaan, menganut konsep agama resmi negara. Dalam hal ini, terdapat persekutuan antara elit agamawan dan kerajaan, dengan kerajaan mengakui dominasi agama resmi serta hak-hak istimewa para elit agamawan tersebut. Sebagai balasannya, para elit agamawan mendukung kerajaan dengan menyatakan bahwa raja adalah wakil tuhan di dunia ini. Revolusi demokratik melawan dan menghapuskan hal ini, dengan menghapuskan status agama resmi dan menggantinya dengan kebebasan beragama dan beribadah. Agama dipisahkan dari pemerintahan dan negara, dan sekularisasi ditegakkan agar agama tidak lagi dapat dijadikan pembenaran atas kekuasaan dan penindasan. Sayangnya, hal ini belum berhasil dicapai dalam Pancasila.

Ketiga, konsep kesetaraan yang terkandung dalam Pancasila tidak memandatkan penghapusan kerajaan, kebangsawanan, dan segala previlese dari keningratan di Indonesia. Monopoli tanah dan kekuasaan turun-temurun masih dipertahankan, bahkan dilindungi secara hukum dan politik melalui pemberian status Daerah Istimewa. Lebih buruk lagi, hal ini cenderung terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme. Situasinya jauh lebih kompleks daripada keberkuasaan kembali kerajaan setelah kematian Oliver Cromwell di Inggris. Keempat, sebagai hasil dari revolusi demokratik (berupa kontrak sosial), Pancasila tidak memiliki perspektif kelas yang mengarah pada penghapusan kapitalisme. Kekurangan ini dan ambiguitasnya membuat Pancasila rentan menjadi rebutan oleh sayap kanan dan sayap kiri dalam berbagai pertentangan kepentingan.

Karakter Kelas dari Perumus Pancasila

Tiga perumus Pancasila, yaitu Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno, dapat kita telusuri latar belakang kelas mereka untuk memahami karakter kelas yang memengaruhi pembentukan Pancasila. Moh Yamin berasal dari keluarga priyayi yang memiliki posisi terhormat dalam masyarakat Jawa pada saat itu. Hal ini mempengaruhi pemikiran dan pandangannya dalam merumuskan Pancasila. Soepomo, seorang sarjana hukum yang berasal dari keluarga bangsawan Jawa, juga memiliki pengaruh dari latar belakang kelasnya dalam memperkuat nilai-nilai keadilan dan hukum dalam Pancasila. Sementara itu, Soekarno, yang berasal dari keluarga priyayi Jawa, memiliki pengalaman sebagai pemimpin nasionalis kolaboratif dengan rezim fasis dalam melawan penjajahan, yang membentuk visi dan semangatnya dalam merumuskan Pancasila. Dengan mempelajari kelas sosial para perumus Pancasila, kita dapat memahami pengaruh dan karakter kelas dalam pembentukan Pancasila itu sendiri.

Penjajahan Jepang di Hindia Belanda mengubah struktur kelas sosial dengan menggantikan posisi borjuasi besar yang sebelumnya diduduki oleh warga kulit putih Belanda. Imperialis Jepang mengambil alih dominasi ekonomi dan politik, memindahkan posisi borjuasi besar dari Belanda ke tangan mereka sendiri. Hal ini menciptakan strata atas baru dalam masyarakat, di mana borjuasi lokal menjadi borjuasi kecil di "tanah mereka sendiri". Mereka menjadi tergantung pada kapital asing dan memiliki keterbatasan dalam keberdayaan ekonomi mereka. Pergeseran ini juga mempengaruhi dinamika sosial dan politik pada saat itu. Watak umum dari borjuasi kecil adalah oportunis dan pengecut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun