Mohon tunggu...
Achmad Zulfikar
Achmad Zulfikar Mohon Tunggu... profesional -

Selalu ingin berbagi, walaupun juga masih terus belajar. Saat ini ia sedang menjalankan organisasi yang mengawal semangat berbagi pengetahuan dari berbagai penjuru dunia kepada masyarakat Indonesia melalui berbagai kegiatan menuju Indonesia Emas 2045 melalui Sawanua Foundation. Yayasan yang mulai diperkenalkan pada 28 Desember 2016. Ia senang menulis berbagai isu, utamanya berkaitan dengan bidang keahliannya seperti Hubungan Internasional, Politik Luar Negeri Indonesia, Ekonomi Politik bahkan Hukum Internasional. Ia sangat terbuka dengan kolaborasi dan dapat dihubungi melalui email apa@kabarfikar.com atau sawanuafoundation@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengurai Benang Kusut Kasus TKI di Luar Negeri #SaveSatinah #SaveTKI

25 Maret 2014   15:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:31 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13957300461155369473

[caption id="attachment_328410" align="aligncenter" width="609" caption="Ilustrasi-Kompasiana (Kompas.com/Wijaya Kusuma)| Puluhan pekerja rumah tangga saat mengelar aksi pengumpulan dana untuk Satinah di titik nol km Yogyakarta "][/caption]

Pagi ini saat menonton salah satu saluran televisi swasta, kita lagi-lagi dikejutkan dengan munculnya kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Banyak simpati yang mengalir deras dari publik tertuju kepada sosoknya, namun sebelum membahas lebih lanjut mari kita melirik profil dari TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi yang diberitakan tersebut.

TKI tersebut bernama Satinah, ia berasal dari Dusun Mrunten, Desa Kalisidi, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Ia dituduh membunuh majikannya, sehingga merujuk kepada hukum yang berlaku di Arab Saudi, maka TKI yang juga merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut diancam hukuman mati.

Kasus yang menimpa Satinah dan puluhan TKI lainnya yang saat ini menjejakkan kaki ke tiang gantungan bisa dikatakan telah berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas, maupun pengawasan dari pihak pemerintah. Namun asumsi ini dibantah oleh perwakilan pemerintah Tatang Budi Razak, Direktorat Jenderal Perlindungan WNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri RI. Melalui stasiun televisi swasta pagi ini menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan serangkaian tindakan yang terukur guna menyelesaikan permasalahan yang menimpa Satinah dan puluhan TKI lainnya yang senasib.

Saat ini nasib Satinah bergantung dari upaya pemerintah untuk mengumpulkan uang diyat (uang ganti darah) yang diminta oleh perwakilan keluarga yang dibunuh oleh Satinah sebesar 21 Miliar Rupiah. Namun demikian, dana yang disediakan oleh pemerintah barulah cukup 12,4 Miliar, sedangkan pengumpulan dana yang diminta diupayakan hingga tenggat waktu 3 April 2014 mendatang.

Hal ini mendorong partisipasi berbagai kalangan mulai dari komunitas, LSM, maupun perorangan. Salah satunya adalah artis Melanie Subowo yang sejak 2007 menggalang dana untuk pembayaran diyat Satinah. Begitu juga dengan kawan-kawan LSM yang ikut aksi di Yogyakarta seperti: Rifka Annisa Yogyakarta, Jaringan Perempuan Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dan Aksara.

Saya sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh pihak pemerintah, maupun publik untuk menyelesaikan kasus yang menimpa Satinah. Namun ada baiknya kita merefleksikan beberapa hal yang mungkin dapat membantu memberikan pencerahan kepada seluruh pihak atas beberapa kasus TKI yang terjadi di luar negeri.

Mengurai Benang Kusut

Sebagai alumni jurusan Ilmu Hubungan Internasional dan juga peneliti muda saya berusaha untuk memberikan sumbangsih berpikir berupa uraian benang kusut dari kasus TKI di luar negeri. Ada tiga hal yang penulis soroti berikut ini.

Kebijakan Perlindungan TKI/Pekerja Indonesia di Luar Negeri. UU No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) merupakan landasan hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan kepada TKI di luar negeri. Namun sayangnya menurut banyak pihak UU tersebut belum mampu mengakomodir perlindungan, dan hanya mengedepankan aspek ekonomi yakni tata niaga peruburuhan/ketenagakerjaan dan mengesampingkan aspek perlindungan yang justru harus dikedepankan.

Menurut catatan dari LSM Migrant Care melalui publikasinya berjudul "Wujudkan Payung Hukum bagi Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya". Dicantumkan di sana bahwa sudah ada upaya untuk mendorong pemerintah melakukan revisi terhadap UU tersebut sejak November 2010 yang telah masuk dalam agenda program legislasi nasional (prolegnas). Namun baru pada 5 Juli 2012, UU tersebut secara resmi disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR RI.

Tidak berselang lama sebelumnya tepatnya pada 12 April 2012 telah disahkan sebuah Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran oleh pemerintah Indonesia, setelah menundanya selama 8 tahun. Sebagaimana hasil riset saya dalam karya tulis ilmiah (skripsi) saya yang berjudul "Alasan Pemerintah Indonesia Meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak Pekerja Migran Tahun 2012" menyimpulkan bahwa alasan pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut untuk mendapatkan keuntungan di aspek ekonomi maupun politik. [Selengkapnya baca skripsi saya di academia.edu]

Sehubungan dengan masa pemilihan umum legislatif (pileg) tahun 2014, maka segala aktivitas di kantor Dewan Perwakilan Rakyat RI telah dinyatakan 'bubar jalan' dan masing-masing aleg kembali menjadi caleg untuk mempertahankan 'tahtanya' di Senayan. Sehingga pembahasan revisi UU ini masuk ke dalam masa reses/tidak bersidang.

Penyiapan TKI/Pekerja Indonesia sebelum bekerja di luar negeri dari aspek etika dan hukum. Mungkin terdengar bahwa masukan ini normatif. Bahkan bagi yang sudah mengerti sistem tata kelola penyaluran TKI ke luar negeri di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) maupun Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI). Institusi pemerintah yang diberikan mandat untuk mengurusi penyaluran TKI ini memang telah melakukan serangkaian upaya untuk mempersiapkan TKI untuk bekerja di luar negeri.

Namun pelatihan yang diberikan oleh BNP2TKI maupun BP3TKI sebelum pemberangkatan TKI yang dikenal dengan istilah Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) belum efektif dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan TKI dan cenderung menjadi formalitas belaka. Ditambah lagi dengan sedikitnya waktu yang diluangkan untuk memberikan pelatihan yang dianggap 'pamungkas' tersebut semakin menghilangkan esensi penyiapan bagi TKI sebelum diberangkatkan.

Saya juga pernah melakukan riset tentang "Penguatan Kapasitas Tenaga Kerja Internasional Indonesia dalam Aspek Etika dan Hukum di Kalangan Penyalur Jasa TKI di Yogyakarta" yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam skim Program Kreativitas Mahasiswa Tahun 2012 Didanai 2013.

Dalam penelitian tersebut kami menyimpulkan diperlukannya kegiatan sampingan di luar "PAP" yang diberikan kepada TKI yang resiko kerjanya tinggi dikarenakan profesi seperti penata laksana rumah tangga (PLRT), maupun negara tujuan yang rawan terjadinya permasalahan seperti Malaysia, Arab Saudi, Taiwan, maupun Hongkong. Luaran yang kami hasilkan salah satunya adalah modul penguatan kapasitas yang menjadi panduan bagi penyalur jasa TKI yang berisikan empat hal yang substansial antara lain: 1) persoalan umum TKI di luar negeri, 2) prosedur penempatan TKI, 3) kasus-kasus TKI di Yogyakarta, dan 4) upaya penguatan kapasitas.

Sehubungan dengan riset kami yang difokuskan di wilayah Yogyakarta, maka data yang kami olah berasal dari BP3TKI Yogyakarta kemudian dikolaborasikan dengan masukan-masukan dari narasumber ahli. Salah satunya Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat yang di kala itu kami hadirkan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk memberikan kami pemahaman tentang tata kelola penyaluran TKI yang tentunya merupakan kebijakan BNP2TKI secara institusional.

Meningkatkan Posisi Tawar Indonesia dengan Negara Tujuan Kerja melalui pembuatan kerangka kerjasama mengacu kepada standar Konvensi Internasional Perlindungan Hak Pekerja Migran yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2012. Bagian yang terakhir ini merupakan kesimpulan dari skripsi saya terkait dengan keuntungan politik yang seharusnya dimanfaatkan oleh Indonesia. Pasca meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak Pekerja Migran maka tentunya Indonesia harus mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari Konvensi ini baik ke dalam negeri, maupun ke luar negeri.

Menurut hasil wawancara saya saat melakukan pengumpulan data untuk skripsi dengan Anggota DPR RI Komisi IX Rieke Diah Pitaloka menyatakan bahwa ke dalam negeri Konvensi ini berfungsi sebagai landasan bagi revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN agar isinya sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia Internasional. Hal ini didasarkan pada kapasitasnya sebagai anggota dewan.

Sedangkan dalam pandangan saya sebagai Alumni Hubungan Internasional UMY, seharusnya Konvensi ini dapat juga digunakan sebagai alat negosiasi Indonesia di dunia internasional sebagai posisi tawar (bargaining position). Di dalam salah satu bagian di akhir pembahasan Bab IV di skripsi, saya mencoba memberikan wawasan tentang perbandingan sikap negara lainnya merespon ratifikasi, salah satu contoh yang saya ambil adalah Meksiko. Negara ini merupakan ketua komite pembahasan Konvensi Internasional ini yang dimulai sejak 1990.

Dan saat ini Meksiko telah berhasil mengoptimalkan Konvensi tersebut sebagai landasan kerjasama dengan negara-negara di sekitarnya untuk mengatasi permasalahan pekerja migran dalam artian bahwa menjamin keamanan warga negara Meksiko yang menjadi pekerja migran di negara-negara sekitarnya seperti Amerika Serikat, Guatemala, dan Kanada dalam bentuk Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman. Manfaat yang diperoleh Meksiko saat ini adalaha terjaminnya hak-hak pekerjanya di negara tersebut mengacu pada standar internasional yang telah ditetapkan secara rinci dan sistematis di dalam Konvensi tersebut.

Harapannya agar kedepan Indonesia dapat mengoptimalkan Konvensi ini sebagai alat negosiasi dan posisi tawar dengan negara-negara tujuan TKI, khususnya dengan negara-negara tujuan TKI yang rawan. Apabila kesepahaman telah tercipta antara Indonesia dengan negara tujuan TKI tersebut, maka cost/biaya 'mahal' yang harus dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya di luar negeri sebagaimana amanat konstitusi akan dapat diminimalisasi bahkan dapat digunakan untuk melakukan peningkatan kapasitas bagi TKI sebelum diberangkatkan agar dapat bersaing dengan tenaga kerja lainnya yang berasal dari berbagai negara di dunia.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, maupun diri saya pribadi sebagai ajang refleksi untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih bermartabat kedepannya.

-- @kabarfikar | 25 Maret 2014 --

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun