***
Hal yang akhirnya mengugah rasa perjuanganku yaitu ketika sekolah kami sedang mengikuti kompetisi olahraga, siswa dari sekolah lain berusaha merendahkan sekolah kami dengan sebutan 'Yapis = Yayasan Pisang Goreng'. Itu bukan yang pertama mereka lakukan. Dan dilakukan hanya oleh segelintir siswa memang. Para siswa yang merasa dirinya hebat, tetapi sesungguhnya mereka pribadi tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti kata pepatah "Tong kosong nyaring bunyinya" atau pepatah "Air beriak  tanda tak dalam".Â
Kalimat itu tentu saja tidak dapat diterima. Memanaskan hati kami saat itu. Dengan segala daya upaya, semua anak berusaha membela harga diri dan menegaskan kepada mereka untuk berhenti mengatakan kalimat tersebut. Dan kami pun berusaha membalas hinaan tersebut dengan berusaha memberikan yang terbaik dan menunjukkan pada mereka kami pun bisa berprestasi. Menunjukkan bahwa sekolah kami tidak bisa diremehkan begitu saja. Beberapa kompetisi pun berhasil kami buktikan hal itu.
Aku ingat betapa untuk sekolahku itu, aku berusaha mengikuti berbagai kompetisi untuk membuktikan kami pun bisa berprestasi. Mulai dari cerdas cermat, LPTP, mengambar, gerak jalan, karya tulis, dan beberapa lomba lainnya. Namun, semua itu seakan sia-sia belakang. Orang lain terlalu tangguh untuk aku hadapi. Terlalu berbakat untuk bisa aku saingi. Akan tetapi, tiap kali kami pulang dengan wajah bersalah tanpa hasil, guru-guru hanya menyambut dengan senyum dan menepuk pundak kami seolah berkata tidak apa-apa. Kadang kala mereka berkata "Masih ada kesempatan lain" atau "Yang penting kita kan sudah berpartisipasi" yang melegakan hati bahwa sedikitpun mereka tidak kecewa. Di antara siswa pun kami hanya sering berkata
"Kalau SMP Yapis kalah mah biasa. Kalau menang terlalu luar biasa itu",
"Bisa-bisa pohon di Nowari rubuh kah apa.."
"Hahahahahha..."
Isi canda kami yang tidak lain berusaha membesarkan hati kami. Namun, terkadang kata-kata itu mencambukku untuk bisa berbuat yang lebih baik lagi di masa depan untuk membanggakan sekolahku itu. Tidak heran, setiap kali aku kalah, aku kadang hanya bisa menangis dan memohon kepada Tuhan agar sekali dalam hidupku untuk membanggakan orang-orang yang ada didekatku. Sekolahku.
***
Takdir memang tidak pernah kita duga. Waktu menjawab doa kecil itu. Semangat yang tetap membara mengantarkan aku menjuarai kompetisi olimpiade matematika antar SMP. Juara dua. Posisi yang cukup untuk mewakili kabupaten bertanding di tingkat propinsi. Kejuaraan pertama yang sedikit mengejutkan sekolah lain tentunya.Â
Aku ingat ketika pertama datang aku dan kedua rekanku hanya saling bercanda di saat peserta lain sedang belajar dengan giatnya. Aku ingat pula saat siswa sekolah favorit datang dengan matangnya. Hafalan rumus dan teori matematika, fisika, dan biologi bertebaran mengema telinga kami yang duduk di samping mereka. Aku ingat pula ketika kami keluar setelah tes dengan wajah yang tetap dapat tersenyum.Â