Mohon tunggu...
achmad syaiful
achmad syaiful Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Unexpected

20 Januari 2019   12:29 Diperbarui: 20 Januari 2019   13:07 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alasanku untuk masuk pun sebenarnya tidak patut untuk ditiru. Suatu tindakan yang tidak terpuji. Hasratku yang tidak terpenuhi dan rencana yang telah dibangun hancur dalam satu hari yang tidak terprediksi. Aku mungkin berpikir realistis dengan tetap untuk meneruskan pendidikanku. Tidak ada cara lain untuk mengejar kehidupan yang lebih baik selain memiliki pendidikan yang baik. Akan tetapi, hal yang aku takutkan apakah semangat bersekolah itu akan tetap ada, sedangkan di sisi lain aku dihadapkan pada situasi yang tidak aku duga sebelumnya? Ataukah aku akan berakhir seperti siswa pada umumnya yang gagal karena semangat itu luntur  terurai oleh pikiranku yang gelap dan rasa penyesalan yang tidak pernah usai? Aku tidak tahu.

***

Hari-hari pertamaku sebagai siswa SMP pun berjalan tanpa ada yang spesial. Teman baru, guru baru, lingkungan baru, dan pelajaran baru mungkin itu yang dapat aku hitung sebagai sesuatu yang baru. Kekecewaan itu, masih tetap ada. Aku pun menoleh pada perlengkapanku. Buku yang kusut, sepatu yang kebesaran, baju bekas jahitan tangan, dan celana warisan agaknya membuatku sejenak untuk berfikir. Orang miskin sepertiku hanya dapat menggunakan barang warisan dari kakakku atau pemberian orang lain tanpa sedikit pun mengeluh. Sadar akan kondisi keluarga atau pasrah dengan keadaan.

Menyadari keadaan itu, terbesit sedikit rasa bersyukur. Sedikit. Sulit membayangkan apabila saat itu aku berada di sekolah yang penuh dengan siswa dengan ekonomi yang mapan. Baju yang baru, perlengkapan bermerek, dan semua yang mungkin serba wah. Betapa hati ini akan terasa terkucilkan dan rendah diri pun akan sulit untuk dihindari. Rasa percaya diri yang pasti hancur oleh keadaan yang tidak menyenangkan itu. Beruntung di SMP Yapis mereka berasal dari ekonomi yang biasa saja. Tidak ada yang spesial dan membuatku merasa perlu untuk malu. Respon  mereka yang terkesan tidak mementingkan apa yang aku kenakan membuatku sedikit merasa nyaman untuk tetap menegakkan kepalaku dan melihat lurus ke depan.

***

Waktu demi waktu berjalan tanpa ada yang dapat menghentikan. Keakraban pun terjalin sudah. Canda dan tawa selalu mengisi hari-hariku dengan cerita-cerita yang menyegarkan. Aku ingat, betapa para guru di SMP Yapis menyadari bahwa siswanya merasa kurang nyaman dengan menjadi bagian dari SMP tersebut. Masih ada raut-raut penyesalan di wajah kami. Akan tetapi, dengan senyum dan kata yang bijaksana, beliau-beliau berusaha untuk memberi semangat kami untuk tidak perlu berkecil hati sekolah di SMP swasta itu.

"Kalian ini harusnya bangga. Wong, sekolahnya di luar negeri kok." Begitulah gurauan beliau suatu waktu berusaha memberi kehangatan dalam situasi saat itu. Kami hanya bisa tertawa menyadari maksud 'luar negeri' tersebut adalah 'swasta'.

Rasa senasib dan sepenanggungan yang kami alami sebagai siswa menjadikan kami lebih kompak. Aku ingat bagaimana kami masih bisa tersenyum walaupun sedang dihukum oleh guru untuk berdiri di tengah lapangan atau masih bisa tertawa walaupun pipi atau paha terasa pedis habis terkena hukuman guru. Hal lainnya ketika seseorang mengalami kesulitan dalam belajar, bagaimana perasaan saling membantu itu muncul begitu saja. Semua itu menjadi bagian dari sekolah yang membuatku merasakan kehangatan sebuah keluarga. Semangat yang mulai memberitahu aku betapa beruntungnya aku saat itu.

***

Jumlah siswa yang sedikit pun memudahkan kami mengenal satu sama lain. Memahami kelebihan dan kekurangan setiap teman. Tidak mengherankan pula para guru dapat mengenal hampir sebagian besar muridnya. Salah satunya aku, semua guru di SMP Yapis sangat mengenalku. Memahami kondisiku. Tidak mengherankan guru-guru selalu berusaha membantuku, terutama untuk mendapatkan semua beasiswa yang mungkin bisa aku dapatkan agar keuangan tidak lagi menjadi masalah yang besar bagiku. Berbeda dengan sekolah favorit yang memiliki jumlah siswa yang banyak. 

Guru hanya dapat mengenal siswa dengan kriteria tertentu saja, entah karena prestasinya atau karena siswa itu nakal atau pembuat ulah. Aku hanya tidak dapar membayangkan bagaimana nasibku apabila bersekolah di sekolah favorit. Banyak  siswa yang pastinya lebih baik dariku. Apakah nasibku akan lebih baik ataukah lebih buruk dari yang aku dapat saat itu? Sekali lagi, satu alasan untukku untuk bersyukur masuk ke sekolah sekecil itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun