Kerutan di wajahku dan tatapan yang lemas menggambarkan dengan jelas kekecewaan yang sulit untuk dibendung. Aku hanya terduduk lesuh di sudut pintu sambil menatap rumput kering yang ikut menatapku dengan penuh tanya.
"Terus kamu  mau apa?" Tanya ibuku memecah kesunyian.
Aku hanya terdiam sambil menahan air mata yang nyaris tumpah.
"Pak Doni juga belum tentu bisa bantu kita buat masuk. Paling jatahnya sudah dipakai kenalan beliau.!!!" Bela kakakku.
Aku tetap membisu. Ingin rasanya menyalahkan kakakku itu.
"Coba saja dia tidak langsung pergi dan bersabar menunggu hingga semua siswa pergi. Coba saat pendaftaran tadi kita langsung menemui guru matematikanya itu. Mungkin ceritanya akan sedikit berbeda" gumamku dalam hati. Kesal.
"Ya sudah.."," Pilih mana? Kamu mau sekolah di SMP Yapis atau nunggu sampai tahun depan kalau mau daftar lagi di SMPN 2 ..." Tegas ibuku.
"Huff... !!!"Aku hanya mengela nafas panjang.
Dua pilihan yang sangat tidak menyenangkan untuk diambil. Di kala itu aku hanya bisa berandai-andai agar waktu dapat diputar kembali sehingga aku bisa masuk ke sekolah impianku itu. Akan tetapi, ini kenyataan bung. Dan aku harus memilih. Dengan berat hati, aku pun memilih pilihan pertama. Lebih baik sekolah daripada harus menunggu setahun tanpa kegiatan yang jelas, bukan.
***
Sebenarnya sejak SD aku berharap masuk ke SMP yang sama dengan kakakku, SMPN 2, dan tidak pernah bermimpi untuk masuk dan menghabiskan tiga tahunku di SMP Yapis. Sekolah kecil dan jauh dari keramaian kota. Sekolah yang hanya empat alasan mengapa seseorang mau menjadi bagian dari siswa sekolah tersebut. Pilihan orang tua, lokasi yang dekat, tidak diterima di sekolah pilihan, atau meneruskan tradisi. Alasan  yang terlalu dramatis memang, tetapi itulah bagian dari realita kehidupan yang ada. Suatu realita yang tidak hanya merupakan drama sekolah yang terjadi pada kota kecil seperti kotaku, tetapi juga kota-kota besar lain. Sekolah favorit versus sekolah pilihan terakhir.