"Wah, tekor, dong." Kata saya.
"Iya, Bang. Banyak juga sopir truk yang gak mau ngangkut lagi lewat jalur ini karena ongkos Mitingnya mahal."
"Sudah berapa lama kondisi jalan rusak seperti ini, Bang?"
"Ada setahun lebih, Pak." Bang Itay menjawab sambil sibuk menyodorkan uang dua ribuan ke penjaga Miting
"Kaya juga tuh yang buat miting di Jalan." Kata teman saya yang lain.
[caption id="attachment_314922" align="aligncenter" width="448" caption="Anak-anak penjaga Miting di Ketapang Kalbar (dok. pribadi 19-2-2014)"]
![1393807076301793151](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/03/1393807076301793151.jpg?t=o&v=555)
[caption id="attachment_314923" align="aligncenter" width="448" caption="Sopir membayar uang untuk melewati Miting (dok. pribadi 19-2-2014)"]
![13938071151946500020](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/03/13938071151946500020.jpg?t=o&v=555)
Dialog tentang Miting antara Bang Itay dan saya terus berlanjut sampai akhirnya kami berhenti untuk rehat makan di tepi pantai di daerah Pesaguan.
Jalan rusak parah penuh Miting ini membentang panjang dari Kota Ketapang ke Kota Pelabuhan Kendawangan. Jarak Kota Ketapang dan Kota Kendawangan sejauh 92 Km, dan hampir 60 persennya rusak parah. Jarak 92 km yang normalnya hanya 1.5 jam, kini harus ditempuh selama 4 jam lebih dengan bergoncang-goncang. Kepala saya beberapa kali terbentur kaca mobil Xenia yang dibawa oleh Bang Itay.
"Wah, harus pake helm nih, kalau ke Kendawangan. Biar kepala gak benjol." Kata saya.
"Oh ya, Bang, Abang harus selalu nyiapin uang 2000 an banyak dong kalo mau ke Kendawangan."