Sejak wabah Covid 19 Ibukota jauh lebih kejam dari Ibu tiri. Levelnya sudah bukan ibu tiri lagi, mungkin sudah masuk level ibu syet dah, terutama dikalangan pekerja informal atau penerima upah harian.
Jakarta sebagai zona merah penyebaran Corona menerapkan berbagai macam kebijakan bagi masyarakatnya. Salah satunya adalah WFH (Work From Home) dan Physical Distancing.
Segala kebijakan tersebut, membuat Jakarta lengang. Rutinitas pegawai meskipun tidak terhenti tetapi jauh berkurang dari biasanya. Tak ayal penurunan pendapatan begitu terasa baik di sektor formal maupun informal.
Di sektor formal, penurunan pendapatan tidak begitu terasa. Selain besarnya gaji yang didapat, di sektor formal memiliki fundamental perusahaan dan individu yang kuat.
Pak Rudi, pekerja formal di sektor pemerintahan. Dia bekerja di pemerintahan sebagai administrator. Pendapatannya yang mengabdi sudah lebih dari 20 tahun mencapai dua digit.
"Kegiatan tidak ada jelas honor kegiatan juga tidak ada, terlebih perjalanan dinas. Saya sebulan bisa 2 sampai 4 kali melakukan perjalan dinas, dari situ lumayan mas Sejak WFH dan dilarang keluar kota, pendapatan dari situ berkurang", ucapnya.
Lain cerita, Pak Udin, salah seorang pekerja informal di Ibukota. Sejak pindah bekerja ke Jakarta, kehidupan istri dan anak di kampung lebih sejahtera. Pak Udin seorang driver Ojol (Ojek Online) dengan pendapatan harian dia mampu menghasilkan 4-5 juta per bulan.
Sebelum menjadi Ojol, dia menjadi buruh tani di kampung. Menggarap sawah orang membuat dapur Pak Udin jarang mengebul, hingga akhirnya dia memutuskan hijrah ke ibukota menjadi driver Ojol.
Kini Pak Udin pusing, wabah Corona membuat pendapatannya menurun drastis. Kustomer yang menghilang, membuat hari-harinya kebanyakan hanya nongkrong di pinggir jalan penuh ketidakpastian.
"Gini loh mas, orang-orang yang biasanya pake jasa ku iku prei. Gimana gak jebol isi dompet, opo aku tak mulih ae yoo. Tak garap sawah sek, nek wes normal balik maneh", tuturnya.
Pak Udin pun hendak pulang ke kampung halaman sampai kondisi normal. Meskipun dia tahu pendapatan di desa sangat minim, tetapi lebih baik berkumpul dengan keluarga.
Beda kisah dengan pak Udin, Stefanus seorang mahasiswa yang perkuliahannya diliburkan sampai bulan Juni. Kegiatan sehari-harinya hanya berdiam di kosan sambil online.Â
"Sejak surat Edaran dari Pak Rektor, kegiatan perkuliahan berhenti sampai akhir semester. Nongkrong pun sudah susah, kemarin sempat ditertibkan sama polisi. Disuruh pulang gak boleh berkerumun. Akhirnya saya beli tiket untuk pulang kampung, lah orang dosen saya juga rata-rata pulang semua".
Setali tiga uang dengan pak Agus, Stefanus memutuskan untuk pulang kampung. Â Sejak tempat "tongkrongan"nya sering ditertibkan dia hanya diam di kosan . Kebosanan di kamar kos membuat dia memutuskan untuk kembali ke kampung.
Mahasiswa seperti Stefanus paham bahwa kampus melarang untuk mudik ke kampung halaman. Â Keadaan sekitar yang membosankan dan lama tak bertemu keluarga membuat dia membeli tiket untuk pulang.
Stefanus juga berpendapat bahwa himbauan rektor hanya opsi, bisa dipatuhi dan tidak. Kenyataan yang terjadi, kegiatan akademik diliburkan dosen pun pulang kampung. Sebagaimana "Guru kencing berlari, murid kencing berdiri". Stefanus pun memilih mengikuti jejak sang dosen yang pulang kampung.
Tindakan pulang kampung merupakan salah satu tindakan yang dilarang oleh pemerintah saat ini. Orang-orang yang pulang dari Jakarta ditakutkan sebagai carrier (pembawa) virus Corona dan menyebarkan di daerah masing-masing.
Pelarangan mudik masal ini masih dalam tingkat himbauan, sehingga tidak efektif di kalangan bawah. Berkurangnya pendapatan dan tidak adanya kegiatan membuat beberapa orang memutuskan untuk pulang kampung.
Kurangnya informasi dan pemahaman tentang penyebaran virus Corona menyebabkan kaum urban Jakarta abai terhadap himbauan. Â Sebagian dari mereka cenderung lebih mengutamakan kenyamanan pribadi.
Alasan lain pulang kampung disegerakan adalah untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Ada pula yang berpendapat bahwa dia pulang kampung sebelum diterapkannya Lockdown oleh pemerintah.
"Kalau sudah lockdown, gak bisa keluar Jakarta nanti. Jadi saya mending balik sekarang saja" ucap seorang penumpang kereta api jurusan Surabaya.
Saat ini meskipun belum sampai tahap lockdown, pemerintah telah merencanakan untuk meningkatkan status menjadi "karantina kewilayahan". Kali ini aturan hukum sedang dibuat berdasarkan keterangan dari pak Mahfud MD.
"Konsep karantina kewilayahan berbeda dengan lockdown. Rancangan PP sudah ada di Kemenko PMK dan tinggal didiskusikan kembali. Tapi saya pastikan tidak ada lockdown melainkan karantina kewilayahan", tuturnya.
Apapun istilah yang digunakan, pemerintah bertujuan untuk menyelesaikan penyebaran virus Corona. Walaupun masih terlihat kurang tegas, karena banyaknya pertimbangan tentang kebijakan yang akan diambil dan dampaknya ke masyarakat.
Contoh satu negara yang tegas mengambil kebijakan Lockdown adalah Meksiko. Tak seperti Jakarta yang kondusif, kota Meksiko mulai tidak aman. Penjarahan minimarket mulai terjadi dalam kondisi kota yang lockdown.
Gelombang penjarahan menyebar disertai ajakan media sosial tersebar di tengah masyarakat. Perampokan masal di tengah pusat bisnis menyebabkan terjadinya bentrokan antara sipil dengan pihak kepolisian.
Hal yang sama akan terjadi, apabila pemerintah menerapkan kebijakan yang salah. Kebijakan seharusnya disertai dengan kondisi kesiapan pemerintah dan masyarakat dalam menjalankannya.
Saat ini saling tolong menolong antara warga kelas atas dan bawah diharapakan menjadi solusi terbaik. Acara mudik masal dari ibukota merupakan keputusan yang tidak tepat ditengah wabah. Sesuai dengan hadis nabi Muhammad ,
"Apabila kamu mendengar penyakit berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila kamu berada di dalamnya, jangan pula kamu lari daripadanya". Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H