Mohon tunggu...
Achmad Ridwan Sholeh
Achmad Ridwan Sholeh Mohon Tunggu... Akuntan - Pegawai

Ayah dari Achmad Ibrahim

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Istriku, Pegawai Bank yang Melamar CPNS

29 Maret 2020   14:31 Diperbarui: 29 Maret 2020   14:43 4609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harapan sebagian besar suami adalah istri lebih banyak di rumah agar fokus pada tumbuh kembang anak-anak kami. Idealnya seperti itu, sedangkan suami bekerja mencari nafkah.

Istri saya seorang pegawai bank BUMN, lebih tepatnya anak usaha BUMN dengan embel-embel syariah dibelakangannya. Dia menjadi pegawai bank sejak lulus kuliah di tahun 2013 silam.

Dia menjadi pegawai bank sebelum menikah dengan saya di tahun 2017. Katanya dulu tak ada keinginan menjadi pegawai bank, menjadi pegawai merupakan tawaran dari sanak saudara diantara nihilnya lowongan pekerjaan saat itu.

Di tahun 2014 dia sempat melamar untuk menjadi seorang PNS. Karena desakan orang tua yang berlatar PNS juga, akhirnya dia mendaftar untuk bersaing dengan ribuan orang. 

"PNS itu sejahtera hidupnya, dapat pensiun kamu nanti. Lihat papa, mampu menyekolahkan kalian bertiga" ucap calon mertua kepada istri saya.

Memang harus saya akui kehidupan mertua berkecukupan hanya dengan pihak laki-laki yang bekerja, sedangkan mertua perempuan saya adalah ibu rumah tangga. Di usia lebih dari 50 tahunan semua sudah terpenuhi, baik kebutuhan primer, sekunder hingga tersier.

Saat itu sistem penerimaan sudah berupa CAT (Computer Assisted Test). Keuntungan dari sistem ini lebih transparan dan hasil langsung diketahui saat itu juga.

Saat itu dia melamar CPNS di luar kota. Jarak perjalanan dua jam dari kota kami saat ini. Dengan alasan lebih daerah, tentu persaingan akan menjadi semakin mudah. Tapi nyatanya dia gagal karena tidak memenuhi passing grade (batas nilai minimal yang dipersyaratkan). 

Kekecewaan tentu ada di istri saya, tapi itu tidak lama. Berbeda dengan calon mertua saat itu yang ingin anaknya berhasil sama seperti dirinya.

Moratorium

Era presiden Jokowi, penerimaan PNS sangat minim. Ini terkait kebijakan perampingan birokrasi agar menjadi lebih baik. Penerimaan PNS berhenti selama 4 tahun. Dan ditahun keempat baru mulai menerima PNS kembali.

Empat tahun tersebut merupakan tahun-tahun neraka bagi pendamba PNS, terutama tenaga honorer. Bagaimana tidak empat tahun dirasa membuang umur sia-sia, sedangkan pelamar PNS dibatasi usia sampai dengan 35 tahun.

Saat itu dia sudah menjadi istri saya. Saya menikahinya di ulang tahunnya yang ke-26 Sebulan setelah pernikahan istri dinyatakan positif hamil. Di tengah kesibukan merawat kehamilan anak pertama dia lupa mendaftar PNS di tahun 2017.

Istri saya melewati pendaftaran PNS di tahun 2017 dan 2018. Entah apa alasannya saya tidak tahu, saya pun tak memaksa dia untuk mendaftar. Bahkan mertua kali ini tidak memaksa, mungkin karena dia sudah berkeluarga, terserah apa kata suami.

Pegawai Bank

Menurut saya pribadi, menjadi pegawai bank itu berat. Bagaimana tidak berangkat jam 7 pagi pulang minimal jam 7 malam. Bayangkan 12 jam terhitung perjalanan dari rumah ke kantor pulang-pergi 1 jam. Belum bila lembur di akhir pekan untuk mengejar setoran atau apalah namanya.

Intinya menjadi pegawai bank adalah waktu dengan keluarga terbatas. Terutama untuk anak, dimana anak baru bangun sudah berangkat dan mau tidur baru ada untuk anak. Tenaga yang sudah lelah terkadang menjadi amukan yang tak terkontrol.

Soal gaji, menjadi pegawai bank untuk entry officer juga tak besar-besar amat berkisar UMR di setiap daerah masing-masing. Take home pay nya masih besar saya yang karyawan non bank dengan jam kerja 7-8 jam. 

Sebenarnya beberapa kali terlintas untuk menyuruh berhenti, tapi selalu saya urungkan. Mengingat mertua yang sudah menyekolahkan dan usahanya untuk mendapatkan gelar sarjana. 

Soal anak, saya pun dulu ditinggal, dititipkan ke tetangga dan ibu bekerja dan tidak ada masalah dengan perkembangan saya. Lebih beruntung anak saya, yang masih dijaga nenek dan kakeknya dan adapula tantenya yang masih bersekolah. 

Anak saya juga sempat merasakan day care kurang lebih setahun. Budget untuk day care ada, toh keduanya bekerja. Sejak mertua pensiun, mereka bersedia menjaga anak kami

Alasan lain yang mengurungkan saya menyuruhnya berhenti tentu adalah ekonomi keluarga. Untuk kebutuhan primer mungkin cukup, tapi bukannya mau kufur nikmat, tapi tidak ada yang tahu pasti kapan saya berhenti bekerja. 

Melihat janda-janda yang ditinggal mati suaminya tanpa memiliki pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Mereka memulai dari nol segalanya, bagaimana nasib anak saya. Tentu hal seperti ini adalah ranah Tuhan, tapi apa salahnya berjaga-jaga

Mendaftar CPNS Kembali

Sejak merencanakan program anak kedua istri saya seakan bosan menjadi pegawai bank dengan jam kerja seperti itu. Dia berencana untuk mengikuti tes CPNS kembali, kali ini dengan alasan yang berbeda. 

Kali ini alasannya ingin lebih banyak dengan keluarga. Bukan perihal jabatan, gaji  dan sebagainya yang dimiliki oleh seorang PNS seperti kata mertua.

Harus saya akui PNS itu lebih "fleksibel" baik dari segi waktu dan pekerjaan. Dan sekarang dia tidak mengambil tes di luar kota, tetapi di kota domisili kami saat ini.

Saya sangat mendukung, terlebih mertua yang masih tersisa asa untuk anak-anaknya menjadi PNS seperti dirinya. Mendengar kabar anaknya mengikuti tes CPNS tentu luar biasa senang bagi mertua saya.

Tes CAT istri saya lolos memenuhi passing grade dengan nilai 331. Konon angka segitu cukup tinggi untuk masuk ke tahap berikutnya SKB melalui perangkingan.

Setelah satu bulan menunggu, malang tak ditolak, mujur tak diraih. Istri saya gagal lagi dia hanya masuk 6 besar dan yang diambil adalah 3 besar. Kali ini dia cukup kecewa tidak seperti yang pertama.

Saya hanya bisa menyemangatinya. "Masih ada cukup waktu dik, nanti kita coba lagi".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun