"... perlulah anak-anak [Taman Siswa] kita dekatkan hidupnya kepada perikehidupan rakyat, agar supaya mereka tidak hanya memiliki 'pengetahuan' saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi juga dapat 'mengalaminya' sendiri , dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya." - Ki Hadjar Dewantara
Subuh baru saja mengantarkan semburat cahaya fajar. Matahari mengintip dari batas cakrawala. Semilir angin mengelus daun-daun, membawa hawa sejuk menenteramkan perasaan. Bersama suara burung-burung bernyanyi, Ibu Lihah dan Ibu Indah tengah memilih bibit batang tanaman bakau di halaman rumah Pak Izar. Terkumpul lima puluh batang bakau. Setiap sepuluh batang bakau diikat menjadi satu ikatan.
Ibu Lihah dan Ibu Indah adalah guru SD Harapan Bajulmati di dusun Bajulmati desa Gajahrejo Kec. Gedangan Kab. Malang. Dusun itu berada di pesisir selatan Samudera Indonesia, 58 Km arah selatan dari kota Malang. Tidak selayaknya sekolah pada umumnya, SD Harapan Bajulmati terbilang minim fasilitas.
Keterbatasan fasilitas tidak menyurutkan semangat para guru. Bagaimana pun kondisi lingkungannya, bagaimana pun fasilitas sekolahnya, bagaimana pun rintangan dan kendalanya, anak-anak dusun tetap memiliki hak untuk menikmati layanan pendidikan yang berkualitas.
Untuk itulah lima puluh bibit tanaman bakau disiapkan. Siswa-siswi SD Harapan Bajulmati akan mengikuti kegiatan bertajuk "Menanam Bibit Bakau, Menyemai Kearifan Lokal". Siswa kelas 5 dan 6 akan menanam bibit tanaman bakau di sepanjang tepi sungai yang alirannya bermuara di bibir pantai Bajulmati.
Kegiatan menanam bukan kali pertama. Pembelajaran outdoor yang mengajarkan siswa merawat lingkungan sekitar dilaksanakan tiga bulan sekali. Selain menjadi bagian dari program yang kini dikenal sebagai Projek Profil Pelajar Pancasila dan Semarak Merdeka Belajar, kegiatan menanam juga bertujuan untuk mempelajari sekaligus mengenali potensi lingkungan dusun mereka.
Karena Bumi Nusantara adalah Cipratan Tanah Surga
Dusun Bajulmati, sebagaimana dusun-dusun yang terhampar di tanah negeri khatulistiwa, memiliki potensi alam yang melimpah. Berada di pesisir selatan Samudera Indonesia, dusun Bajulmati memiliki landscape pemandangan alam yang komplit. Sungai dan muara yang jernih menghijau, perbukitan yang sambung menyambung sepanjang pesisir pantai selatan, hutan-hutan yang lebat, hamparan Samudera Indonesia yang membentang.
Semua potensi itu meneguhkan bahwa keindahan dan kesuburan negeri Nusantara adalah cipratan tanah surga. Anugerah Tuhan ini siapa yang harus mensyukurinya? Siapa yang mengolahnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama? Siapa yang menjaga kelestarian alamnya? Adalah anak-anak dusun Bajulmati, generasi masa depan, yang sadar dan peduli terhadap keseimbangan serta kelestarian lingkungan dusun mereka.
Sepuluh ikat bibit tanaman bakau kini sudah berada di halaman SD Harapan Bajulmati. Siswa-siswi berbaris sesuai kelompok. Wajah anak-anak tampak sumringah. Mereka siap beraksi dalam kegiatan menanam.
Ibu Lihah dan Ibu Indah membagikan satu ikat bibit tanaman bakau kepada setiap kelompok. Pak Izar bersiap memimpin doa sebelum kegiatan dimulai.
Kalau para pengabdi pendidikan di sana ditanya: "Apakah kegiatan menanam merupakan implementasi penguatan Profil Pelajar Pancasila?" Barangkali jawaban mereka belum sepenuhnya sesuai teori atau panduan desain projek. Gagasan kegiatan itu justru berangkat dari naluri pendidik yang peduli terhadap nasib masa depan anak-anak dusun.
Rombongan siswa-siswi SD Harapan Bajulmati bergerak menuju sungai. Setiap kelompok didampingi satu orang guru. Safety wajib diupayakan. Setiap siswa mengenakan pelampung. Di tepi sungai tiga perahu gethek menunggu mereka. Rombongan siswa dan guru harus menaiki perahu lalu menyusuri sungai untuk menuju lokasi penanaman bakau.
Perahu bergerak beriringan. Dan lihatlah, di atas perahu anak-anak bercengkerama bahagia. Guru pendamping pun larut dalam suasana gembira.
"Itu rumahku di sebelah sana!"
"Itu kebun milik siapa, Bu?"
"Air sungai kok warnanya hijau. Kenapa, Bu?"
"Iya, kenapa air sungainya seperti berwarna hijau?"
Ibu Indah memberikan respons terhadap apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan siswa selama "berlayar" menyusuri sungai.
"Jangan banyak bergerak anak-anak!" ujar Ibu Indah.
"Kenapa, Bu?"
"Kita harus menjaga keseimbangan supaya perahu kita tidak terbalik."
"Kita berenang saja."
"Iya, Bu, kita berenang saja. Seru!"
Belajar di luar kelas memang menyenangkan. Ia menghadirkan pengalaman belajar yang autentik. SD Harapan Bajulmati memang tidak memiliki laboratorium khusus untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS). Namun, alam dusun mereka menyediakan laboratorium ciptaan Tuhan: sungai, hutan, bukit, pantai, kebun kelapa, samudera, angin laut, pasir putih, nelayan.
Laboratorium ciptaan Tuhan merupakan sumber belajar yang melimpah, rendah biaya, serta mudah diakses oleh siswa secara langsung.
Tiga perahu merapat di tepi sungai. Mereka tiba di lokasi penanaman bakau. Di sana Pak Izar sudah menunggu kedatangan para siswa dan guru.
"Di sinilah kita akan menanam bakau," jelas Pak Izar. "Setiap siswa silakan mengambil satu tanaman bakau. Perhatikan cara menanamnya supaya tanaman bakau kita tidak mati karena terbawa arus sungai." Pak Izar memberi contoh cara menanam bibit bakau.
Ini memang kegiatan sederhana: menanam bakau. Hanya itu. Namun, apabila ditilik dari manfaat pohon bakau, ia memberi pengaruh yang signifikan terhadap lingkungan. Selain dapat mencegah erosi di tepi sungai, pohon bakau memberikan nutrisi yang berguna bagi lingkungan di sekitarnya. Tanaman ini menjaga keseimbangan ekosistem sungai dan pantai.
Tanaman bakau juga menyumbang kontribusi positif untuk meningkatkan kesuburan tanah di sepanjang aliran sungai yang berair payau.
Sebagai produsen dalam rantai makanan, pohon bakau menjadi sumber nutrisi bagi ikan-ikan kecil dan kepiting. Daun tanaman bakau menjadi sumber makanan utama bagi beberapa jenis ikan untuk kelangsungan hidupnya.
Setelah menyimak penjelasan tentang manfaat pohon bakau bagi lingkungan, kini saatnya para siswa  melakukan aksi nyata menanam bakau. Tak ayal suara anak-anak kembali pecah. Antusiasme mereka menerbitkan optimisme bahwa kegiatan belajar dapat berlangsung di lingkungan terdekat---dan semua itu tanpa perlu biaya yang mahal.
Wajah anak-anak mulai berkeringat. Seorang siswa mengusap peluh di dahinya dengan tangan yang belepotan lumpur. Beberapa kelompok telah menyelesaikan tugas mereka. Tertancap bibit tanaman bakau dari tangan anak-anak dusun Bajulmati.Â
"Tiga bulan lagi kita akan menengok tanaman-tanaman ini untuk merawatnya," ungkap Pak Izar.
Perahu mereka kembali menyusuri sungai Bajulmati. Tujuannya adalah muara sungai yang berbatasan dengan bibir pantai Ungapan. Di sana para orangtua telah menyiapkan makan siang.
Sorot mata Pak Izar dan guru-guru pendamping tidak menunjukkan rasa lelah. Wajah mereka melukis kebahagiaan. Ketulusan pengabdian melayani pendidikan anak-anak dusun sungguh tidak dapat dinilai dengan besarnya rupiah. Gaji mereka---itu pun kalau digaji---tidak sebanyak tunjangan sertifikasi yang diterima oleh sebagian besar guru di Indonesia.
Ini cerita bukan tentang romantisisme pengabdian, melainkan tentang mindset dan keteguhan hati untuk saling berbagi. Mindset dan keteguhan hati berada pada wilayah "kesadaran pendidikan"---yang setiap guru seyogianya menyadari sepenuh-penuhnya demi masa depan siswa.
Belajar Kearifan Lokal secara Kontekstual
Kurikulum boleh berganti atau mengalami perubahan: Kurikulum Rentjana Pelajaran 1947, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, hingga Kurikulum Merdeka Belajar. Setiap perubahan itu membutuhkan "kesadaran pendidikan" dari stakeholder, orangtua, masyarakat, dan pemerintah. Tanpa "kesadaran pendidikan" perubahan kurikulum akan tampak ideal dan indah pada lingkup konseptual saja.
Kita bercermin kepada para pengabdi pendidikan di dusun-dusun sunyi. Praktik baik implementasi Kurikulum Merdeka tidak harus dalam kegiatan yang mahal atau mewah. Kegiatan boleh sederhana asalkan berangkat dari kebutuhan esensial siswa di setiap satuan pendidikan. Seyogianya kegiatan tersebut memiliki nilai manfaat bagi lingkungan di mana satuan pendidikan berada.
Oleh karena itu, Profil Pelajar Pancasila adalah figur pembelajar yang memiliki akar kesadaran yang kuat terhadap nilai sejarah, budaya, serta proyeksi masa depan dusun atau desanya. Pelajar Pancasila adalah siswa-siswa yang mengerti sangkan paran tanah air tempat ia dilahirkan. Inilah benih cinta tanah air dan rasa nasionalisme yang sesungguhnya.
Jadi, kearifan lokal tidak terbatas pada nilai-nilai tradisi dan budaya saja. Ia bisa bersifat lebih substansial karena memiliki hubungan resiprokal dengan pembentukan karakter siswa. Bagaimana penjelasannya?
Pelajar Pancasila mengimplementasikan rasa syukurnya sebagai bentuk iman kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui tindakan nyata menjaga kelestarian lingkungan dusun mereka. Bentuk syukur mereka konkret dan memberi manfaat pada kehidupan.
Siswa yang mengenali "kebinekaan" ragam hayati dan hewani, mempelajari anugerah potensi khas dusun mereka, lalu mengerjakan tindakan nyata menjaga keseimbangan lingkungan, sesungguhnya tengah melakukan internalisasi nilai-nilai berkebinekaan global.
Mereka tidak terutama belajar berkebinekaan global secara konseptual teoritis, melainkan langsung berinteraksi dengan "kebinekaan" komponen-komponen pembentuk lingkungan itu sendiri.
Ketika siswa SD Harapan Bajulmati menanam bakau, para guru tidak lagi berceramah tentang teori gotong royong. Siswa mengerjakan sekaligus mengalami sendiri bekerja secara gotong royong.Â
Pengalaman itu memang tidak seketika dapat dirumuskan. Namun, mendengarkan penjelasan guru tentang "teori gotong royong" pasti berbeda dengan "mengalami gotong royong". Momentum pengalaman bergotong royong akan menjadi long term memory.
Bagaimana dengan kreativitas dan bernalar kritis? Celoteh para siswa ketika menyusuri sungai, pertanyaan-pertanyaan yang muncul secara spontan, obrolan interaktif bersama guru pendamping merupakan letupan-letupan kreativitas dan nalar kritis khas anak-anak.
Kreativitas dan nalar kritis tidak dapat dibentuk secara instan. Atmosfer belajar yang aman mengamankan, sikap menghargai pertanyaan dan jawaban secara menyenangkan, serta kepekaan guru mengayomi siswa akan memantik kreativitas dan nalar kritis.
Ketika kreativitas dan nalar kritis menjadi gaya dan tradisi berpikir, kemandirian siswa pelan namun pasti akan tumbuh. Bukankah kreativitas adalah outcome alamiah dari pengalaman belajar yang autentik dan memanusiakan manusia?Â
Tidak hanya itu. Potensi minat, bakat, dan talenta siswa akan tampak karena iklim dan atmosfer belajar berlangsung secara compatible dengan fitrah kemanusiaan mereka.[]
Salam hangat dari para pengabdi pendidikan di Dusun Bajulmati,
Achmad Saifullah Syahid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H