Namun, hitungan itu sesungguhnya berada di alam mudah-mudahan dan keyakinan. "Mudah-mudahan Tuhan melipatgandakan amal saya menjadi 70.000. Saya yakin Tuhan Maha Pemurah sehingga yang 1.000 dinilai 70.000." Kepastian yang sesungguhnya mutlak wewenang Tuhan.
Kebenaran yang Dijustifikasi Benar
Sayangnya, kita sering nranyak, menerobos batas, memasuki wilayah kepastian. Kita beribadah, menyantuni fakir miskin, mengatur hujan, mengatasi klitih, menata politik seraya menggenggam erat satu versi kebenaran. Untuk versi kebenaran yang lain kita menutup pintu rapat-rapat. Amal kita adalah ngamal yang Tuhan.
Kesanggupan kita adalah mengutuk setiap fenomena, seolah-olah pelaku kejahatan tidak memiliki pilihan lain selain kepastian untuk melakukannya. Orang itu pasti jahat, pasti salah, pasti buruk, pasti biadab.
Kita lupa terhadap konteks dan momentum. Kita pun sembrono memasang label pada status sosial seseorang. Padahal pada satu "diri" terdapat berlapis-lapis identitas sosial: saya sebagai anggota keluarga, warga RT/RW, penduduk kelurahan dan kecamatan, anggota perkumpulan pancing mania, murid dari Sekolah X, pengunjung tetap Angkringan Y, jamaah Arisan Z dan seterusnya.
Atas kejahatan, umpamanya, klitih yang dilakukan anak-anak itu, di manakah letak keberadaan konteks sosial, politik, ekonomi, pendidikan, agama "diri" mereka? Kalau kita hanya memiliki satu cara pandang yang menjustmen bahwa perilaku anak-anak itu biadab, maka mereka pun memastikan korban mereka harus mati.
Pada konteks status sosial sebelah mana anak-anak itu berani sedemikian brutalnya menyabet manusia yang tidak tahu apa-apa hingga terkapar? Kita tidak memerlukan jawaban yang pasti karena jawaban yang kita pasti-pastikan, sedetik kemudian, ditelan oleh relativitas kebenaran.
Saat sabetan benda tajam menghantam kepala korban, saat itulah kejahatan kemanusiaan berlangsung. Lantas, sedetik, satu menit, satu jam, satu bulan berikutnya apa yang dirasakan anak-anak itu? Apakah mereka akan pulang dengan wajah manis sebagai anak mama?
Bagaimana dengan "keterlibatan" pendidikan yang hingga hari ini belum sepenuhnya memanusiakan peserta didik sebagai manusia? Bagaimana dengan aroma dan nuansa politik yang menghembuskan atmosfer siapa kuat dia jadi pemenang? Bagaimana dengan vibrasi kehidupan beragama yang menampilkan adegan rebutan klaim kebenaran? Bagaimana pula dengan dinamika kebijakan ekonomi yang "lempar handuk" mengatasi kelangkaan minyak goreng?
Kita tidak tahu dan tampaknya tidak mau tahu. Yang kita pedulikan adalah kepastian justifikasi kebenaran kita masing-masing, analisa akademik kita masing-masing, pembenaran dalil-dalil agama kita masing-masing, keprihatinan subjektif kita masing-masing. Dan aksi anak-anak itu akan kembali terulang, lagi, lagi, dan lagi.
Kejahatan apa pun tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah sekaligus peristiwa politik, ekonomi, pendidikan, agama yang kompleksitas persoalannya tidak bisa diurai menggunakan satu biji kata "kepastian". Mudah-mudahan kita tidak turut menyumbang "saham" bagi dosa global kejahatan kemanusiaan itu. []