Setiap orang tahu bulan Ramadhan adalah bulan berlimpah pahala. Semacam bulan "percepatan" sehingga satu amal kebaikan pahalanya dihitung berlipat ganda. Kendati demikian kita bisa melihat kemurahan ini dari sudut pandang yang lain.
Sebut saja pahala yang berlipat ganda itu semacam iming-iming dari Tuhan. Reward pendorong motivasi agar lebih sregep dan sungguh-sungguh beribadah.
Namun, kalau pertanyaannya dibalik: tanpa iming-iming pahala, apakah kita akan tetap sungguh-sungguh beribadah? Tanpa iming-iming kenikmatan surga dan ancaman neraka, apakah kita tetap taat kepada-Nya?
Pertanyaan itu dapat berkembang, misalnya, kalau Tuhan tidak mewajibkan puasa apakah kita akan suka rela berpuasa? Sebenarnya kita mengerjakan perbuatan baik untuk mengharapkan bergunung-gunung pahala ataukah karena dorongan kesadaran bahwa perbuatan baik itu memang patut dikerjakan?
Pernahkah kita membayangkan Tuhan akan "kecewa" karena kita mementingkan pahala ketimbang cinta kepada-Nya?Â
Tulisan ini tidak menyangkal pahala sebagai salah satu bentuk kasih-sayang-Nya. Toh, pemberi pahala adalah Tuhan sendiri. Para malaikat pun tidak. Satu-satunya Pihak yang paling mengerti tentang kuantitas dan kualitas pahala untuk para hamba adalah Tuhan.
Tangga pahala yang mampu kita capai adalah tangga mudah-mudahan dan tangga keyakinan. Mudah-mudahan Tuhan memberi kita pahala. Naik satu tingkat, kita meyakini Tuhan memberi kita pahala. Hanya itu. Selebihnya, kepastian dapat pahala atau tidak, diterima atau ditolak, itu mutlak hak prerogatif Tuhan.
Jadi, ngapain pusing memasti-mastikan pahala. Kita bukan Tuhan dan mustahil dapat memastikan apa pun yang bergerak di wilayah kemungkinan. Kita ini "makhluk kemungkinan", "makhluk mudah-mudahan", "makhluk keyakinan".
Nabi Muhammad Saw menyatakan, "Dalam bulan biasa, pahala setiap kebajikan dilipatgandakan 10 kali lipat, namun dalam bulan Ramadhan pahala amalan wajib dilipatgandakan 70 kali lipat dan amalan yang sunah disamakan dengan pahala amalan wajib di luar Ramadhan." (HR Muslim)
Kita boleh memakai logika matematika untuk menghitung kemurahan pahala selama bulan Ramadhan. Misalinya, kita beramal 1.000 rupiah. Di luar bulan Ramadhan amal itu dilipatgandakan menjadi 10.000 rupiah. Selama bulan Ramadhan 1.000 rupiah menjadi 70.000 rupiah.
Namun, hitungan itu sesungguhnya berada di alam mudah-mudahan dan keyakinan. "Mudah-mudahan Tuhan melipatgandakan amal saya menjadi 70.000. Saya yakin Tuhan Maha Pemurah sehingga yang 1.000 dinilai 70.000." Kepastian yang sesungguhnya mutlak wewenang Tuhan.
Kebenaran yang Dijustifikasi Benar
Sayangnya, kita sering nranyak, menerobos batas, memasuki wilayah kepastian. Kita beribadah, menyantuni fakir miskin, mengatur hujan, mengatasi klitih, menata politik seraya menggenggam erat satu versi kebenaran. Untuk versi kebenaran yang lain kita menutup pintu rapat-rapat. Amal kita adalah ngamal yang Tuhan.
Kesanggupan kita adalah mengutuk setiap fenomena, seolah-olah pelaku kejahatan tidak memiliki pilihan lain selain kepastian untuk melakukannya. Orang itu pasti jahat, pasti salah, pasti buruk, pasti biadab.
Kita lupa terhadap konteks dan momentum. Kita pun sembrono memasang label pada status sosial seseorang. Padahal pada satu "diri" terdapat berlapis-lapis identitas sosial: saya sebagai anggota keluarga, warga RT/RW, penduduk kelurahan dan kecamatan, anggota perkumpulan pancing mania, murid dari Sekolah X, pengunjung tetap Angkringan Y, jamaah Arisan Z dan seterusnya.
Atas kejahatan, umpamanya, klitih yang dilakukan anak-anak itu, di manakah letak keberadaan konteks sosial, politik, ekonomi, pendidikan, agama "diri" mereka? Kalau kita hanya memiliki satu cara pandang yang menjustmen bahwa perilaku anak-anak itu biadab, maka mereka pun memastikan korban mereka harus mati.
Pada konteks status sosial sebelah mana anak-anak itu berani sedemikian brutalnya menyabet manusia yang tidak tahu apa-apa hingga terkapar? Kita tidak memerlukan jawaban yang pasti karena jawaban yang kita pasti-pastikan, sedetik kemudian, ditelan oleh relativitas kebenaran.
Saat sabetan benda tajam menghantam kepala korban, saat itulah kejahatan kemanusiaan berlangsung. Lantas, sedetik, satu menit, satu jam, satu bulan berikutnya apa yang dirasakan anak-anak itu? Apakah mereka akan pulang dengan wajah manis sebagai anak mama?
Bagaimana dengan "keterlibatan" pendidikan yang hingga hari ini belum sepenuhnya memanusiakan peserta didik sebagai manusia? Bagaimana dengan aroma dan nuansa politik yang menghembuskan atmosfer siapa kuat dia jadi pemenang? Bagaimana dengan vibrasi kehidupan beragama yang menampilkan adegan rebutan klaim kebenaran? Bagaimana pula dengan dinamika kebijakan ekonomi yang "lempar handuk" mengatasi kelangkaan minyak goreng?
Kita tidak tahu dan tampaknya tidak mau tahu. Yang kita pedulikan adalah kepastian justifikasi kebenaran kita masing-masing, analisa akademik kita masing-masing, pembenaran dalil-dalil agama kita masing-masing, keprihatinan subjektif kita masing-masing. Dan aksi anak-anak itu akan kembali terulang, lagi, lagi, dan lagi.
Kejahatan apa pun tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah sekaligus peristiwa politik, ekonomi, pendidikan, agama yang kompleksitas persoalannya tidak bisa diurai menggunakan satu biji kata "kepastian". Mudah-mudahan kita tidak turut menyumbang "saham" bagi dosa global kejahatan kemanusiaan itu. []
Jagalan, 7 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H