Kalimat yang paling fenomenal dari sahabat saya ini adalah "Ayo ngopi sambil melekan sampai rembes!"
Atas segala ketidakjelasan yang jelas-jelas tidak bisa saya mengerti dari Sinok, foto "Ibu" yang dia pasang di momentum Idul Fitri ini sungguh kejutan yang mengharukan.
Dan teks yang dia pasang: "ibu-mu" (3X). Untuk ukuran Sinok ini benar-benar kegilaan yang waras.
Ibumu, ibumu, ibumu adalah sabda Nabi Muhammad ketika ditanya, "Ya Rasul, siapakah yang harus aku hormati di dunia?"
Demikianlah, Idul Fitri menjadi momentum kita kembali ke rahim, kasih sayang, yang suci. Tiada seorang pun di dunia yang memiliki rahim selain ibu kita. Dari rahim kita kembali ke rahim. Kepadanya kita sungkem dan bersimpuh.
Selanjutnya kita bergeser ke desakotaku. Ini juga sahabat saya yang ke mana-mana membawa kamera. Sregep motret momentum: mulai orang menggali kuburan hingga ekspresi teriakan para demonstran. Mulai sunyi embun yang menetes di atas daun hingga riuh rendah lalu lalang kendaraan di jalanan kota.
Desakotaku mengirim ucapan maaf melalui WA. Saya buka ternyata foto lima anak. Dua anak memangku adiknya. Ia mengucapkan, "Sekeluargi ngaturaken sedoyo kelepatan."
Makhluk suci ini melambangkan ketulusan. Kembali ke jiwa yang fitri tak ubahnya kembali menjadi bayi. Hidup dan mati bergantung sepenuh-penuhnya kepada Tuhan. Agama menyebutnya tawakal.
Saya tidak tengah menyebarkan fatalisme. Namun, jiwa yang fitri, jiwa yang membayi, adalah jiwa yang tidak berhenti berjuang seraya bertawakal kepada Tuhan.
Takwa dan tawakal adalah dua kaki yang menopang langkah hidup kita. Orang bertakwa akan selalu mengerjakan transformasi sosial. Ia bersedekah pada saat sempit maupun lapang, senang maupun susah.
Mengendalikan diri tidak cepat marah merupakan tanda manusia bertakwa. Ia berdiri secara seimbang. Tidak termakan hoaks dan tidak pula menyebarkan hoaks. Tidak ngamukan dan tidak pula membuat orang lain ngamuk.