Pengajian rutin Kamis malam Jum'at semakin banyak yang hadir. Gok Jim tidak pernah mengisi pengajian, dan tidak akan menyampaikan ceramah, demikian ucapnya saat pertemuan perdana.
Hadirin bingung. Lalu, ngapain kita berkumpul di sini kalau tidak untuk mendengar pengajian.
"Itulah soalnya," jawab Gok Jim, "Saya bukan Kyai, bukan Gus, bukan ustad, bukan syekh, bukan Maulana. Saya menjadi teman dan sahabat Anda semua."
"Jadi bagaimana?" tanya mereka.
"Jadi, selama acara berlangsung, pertama, jangan meminta saya berceramah, memberi siraman rohani, atau menyampaikan tausiyah. Penggunaan istilah tausiyah ini pun juga salah kaprah. Tausiyah itu berwasiat, memberi pesan kepada keluarga karena yang bersangkutan merasa ajalnya sudah dekat. Apakah Anda menyangka saya segera mati?"
Anak-anak muda itu menyimak penuturan Gok Jim.
"Yang kedua, acara ini milik kita bersama. Jangan terpusat pada saya seorang. Anda mesti aktif berpartisipasi supaya acara ini berjalan dan bermanfaat untuk kita semua."
"Caranya bagaimana?"
"Ya, caranya bagaimana?"
"Apakah kehadiran saya di sini bukan termasuk berpartisipasi aktif?"
"Caranya, Anda aktif bertanya," tutur Gok Jim. "Siapa yang akan menjawab? Ya kita semua yang hadir di sini. Kalau perlu giliran saya menjawab ada di urutan paling akhir."
"Bertanya tentang apa, Gok?"
"Apa saja, terutama yang terkait langsung dengan pengalaman Anda. Mudah kan?"
Itulah awal mula Gok Jim terlibat "pengajian rutin" bersama anak-anak muda di kampungnya. Awalnya, mereka mengalami kesulitan merumuskan pertanyaan. Ketika maksud pertanyaan sudah ketemu, mereka sulit mengungkapkannya.
Gok Jim memberi jalan keluar. Pakai bahasa Jawa tidak apa-apa.
Seiring berjalannya waktu serta semakin akrab dan terbukanya watak dialog, anak-anak muda di kampung Gok Jim kian lihai bertanya, kian berani menyampaikan pendapat, kian percaya diri mengemukakan ketidaksetujuan atas pendapat tertentu.
Acara itu lantas dinamakan Majelis Kamisan. Anak-anak yang mengusulkan nama itu. Gok Jim langsung oke.
Majelis Kamisan tetap berlangsung meski harus tetap jaga jarak di tengah wabah pandemi. Dan malam itu tema yang dibahas adalah Puasa dan Manusia Bertakwa.
Fikri langsung membuka dengan pertanyaan, "Kenapa sih Tuhan mewajibkan kita berpuasa?"Â
Pertanyaan itu dilanjutkan oleh Fauzi, "Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa?"
"Itu lagunya Meggy Zet!"
"Ngawur!"
"Mansur Es!"
"Tambah ngawur. Itu lagunya Syahrini!"
Terdengar tawa semakin riuh. Begitulah, dialog berlangsung secara egaliter, terbuka dan tetap menjaga kesopanan.
Gok Jim buka suara. "Karena Tuhan teramat sayang kepada kita, maka kita pun diwajibkan berpuasa. Apa hubungan kasih sayang Tuhan dengan kewajiban puasa?"
Pancingan demi pancingan pertanyaan dilontarkan Gok Jim untuk menciptakan dinamika dialog supaya alur diskusi terus bergerak.
Pertanyaan itu direspons secara beragam. Jawabannya bermacam-macam sesuai pengalaman dan bekal wacana literasi hidup mereka. Yang pasti, tidak ada jawaban yang seratus persen benar dan seratus persen salah.
Soal relativitas jawaban akibat cara pandang, sudut pandang, dan resolusi pandang yang beragam, anak-anak muda ini insya Allah sudah khatam alias tidak perlu diragukan lagi keluasan dan ke dalam toleransinya.
"Yang bisa kita harapkan dari puasa adalah doa: semoga Allah menolong kita menjadi orang yang bertakwa," ungkap Gok Jim. "Urutan stratanya seperti ini. Kita suka sekali makan dan minum. Kesukaan seperti itu tidak perlu diwajibkan."
"Benar," sahut Gendon, "Tidak diwajibkan pun kita akan selalu makan dan minum."
"Aslinya tidak ada manusia yang suka berpuasa karena kewajiban itu bertentangan dengan nafsu alamiah kepentingannya," ujar Gok Jim. "Inilah ujian yang pertama. Apakah selamanya kita akan jadi kanak-kanak, yang setiap perbuatan kita hanya dilandasi rasa suka dan tidak suka, ataukah kita menjadi manusia dewasa yang menapaki tangga cinta dengan kaki kemurnian dan keikhlasan?"
"Itu pembahasan pertemuan yang lalu ya?" tanya Gendon lagi. "Apa yang kita suka belum tentu baik untuk kita. Apa yang kita tidak suka bisa jadi itu baik buat kita."
"Sip...!" sahut Gok Jim. "Apa yang diwajibkan Tuhan kepada kita, aslinya adalah perbuatan yang kita tidak suka mengerjakannya. Enak-enak tidur dibangunkan adzan Shubuh. Setelah bekerja keras mengumpulkan kekayaan malah diwajibkan bayar zakat. Ketika tengah menikmati kenyaman, kemapaman dan kekayaan diwajibkan pergi haji."
"Apakah itu semua jalan menjadi manusia bertakwa?" Ini pertanyaan dari Marji Kribo yang duduk di pojokan.
"Bisa ya bisa tidak," jawab Kamil, anak muda yang hobi memancing ikan.
"Piye to, Mil, kok bisa ya bisa tidak?"
"Yang jelas, Mil. Kalau ya, ya iya. Kalau tidak, ya tidak!"
Suasana jadi riuh sesaat. Gok Jim diam untuk memberi kesempatan kepada Kamil.
"Relatif, Man-teman. Itu semua relatif," ucap Kamil.
"Mbok...mbok...bahasamu, Mil. Mlete!"
Anak-anak tertawa.
"Ayo, Mil, jawab!" kata Gok Jim.
"Tuhan menyediakan begitu banyak jalan dan metode untuk tiba kembali di Rumah Kasih Sayang-Nya," ucap Kamil.Â
Kalimat itu mengagetkan Gok Jim. Lumayan juga ini anak. Bisa jadi ini hasil permenungan Kamil saat sedang asyik memancing ikan di pinggir sungai.
"Lanjutkan, Mil!" ujar Gok Jim.
"Saya mengatakan semua itu relatif karena antar sesama manusia kita tidak bisa menilai siapa yang paling mblunat, siapa yang paling bertakwa, siapa yang paling shalih, siapa yang paling alim. Yang pasti bisa menilai dan hasilnya pun pasti akurat hanya Tuhan. Apalagi, Tuhan menyatakan puasa yang kita kerjakan ini berada pada cakrawala la'allakum. Mudah-mudahan, semoga, mbok menawa. Benar begitu ya, Gok?"
"Benar. Terus...?"
"Maka tiada seorang manusia pun yang berhak menyatakan dirinya sebagai manusia bertakwa atau manusia lain sebagai yang tidak bertakwa kecuali ia mengambil hak penilaian itu dari Tuhan."
"Mantab, Mil. Keren...keren. Lalu...?"
"Posisi untuk mencapai takwa tidak pernah finis karena ia adalah harapan, doa, mudah-mudahan. Sebagaimana tidak ada manusia hidup yang berhasil mencapai garis finis sebagai muslim, kecuali Nabi Muhammad. Posisi kita berada dalam dialektika serta dinamika muslim dan tidak muslim, mukmin dan tidak mukmin. 'Sekadar' tidak bersyukur bisa menyorong kita terjun bebas menuju jurang kekufuran."
Sampai di sini Gok Jim terpaksa menyela pendapat Kamil.
"Teman-teman, apa yang baru saja kita dengar merupakan bangunan berpikir yang kita semua tidak menyangka akan diucapkan oleh Kamil. Inilah mengapa kita melakukan ngaji bareng."
"Tidak ada yang paling pintar atau paling bodoh. Semuanya sama. Semuanya sejajar. Semunya harus autentik terhadap pengalaman hidupnya masing-masing."
"Lebih baik kita merasa bodoh sehingga mau terus belajar daripada merasa pintar sehingga tega membodohi bahkan membodoh-bodohkan orang lain."
Hening. Suasana terasa adem.
"Kamu dapat wangsit dari mana, Mil?" tanya Juki memecah keheningan. Derai tawa kembali menghambur. Sementara Kamil hanya garuk-garuk kepala.
"Pertemuan selanjutnya kita akan berdiskusi bagaimana tanda orang bertakwa. Sebagai bekal utama, silakan teman-teman membuka Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 134," kata Gok Jim menutup ngaji bareng Majelis Kamisan.[]
Jagalan, 170520
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H