Kalimat itu mengagetkan Gok Jim. Lumayan juga ini anak. Bisa jadi ini hasil permenungan Kamil saat sedang asyik memancing ikan di pinggir sungai.
"Lanjutkan, Mil!" ujar Gok Jim.
"Saya mengatakan semua itu relatif karena antar sesama manusia kita tidak bisa menilai siapa yang paling mblunat, siapa yang paling bertakwa, siapa yang paling shalih, siapa yang paling alim. Yang pasti bisa menilai dan hasilnya pun pasti akurat hanya Tuhan. Apalagi, Tuhan menyatakan puasa yang kita kerjakan ini berada pada cakrawala la'allakum. Mudah-mudahan, semoga, mbok menawa. Benar begitu ya, Gok?"
"Benar. Terus...?"
"Maka tiada seorang manusia pun yang berhak menyatakan dirinya sebagai manusia bertakwa atau manusia lain sebagai yang tidak bertakwa kecuali ia mengambil hak penilaian itu dari Tuhan."
"Mantab, Mil. Keren...keren. Lalu...?"
"Posisi untuk mencapai takwa tidak pernah finis karena ia adalah harapan, doa, mudah-mudahan. Sebagaimana tidak ada manusia hidup yang berhasil mencapai garis finis sebagai muslim, kecuali Nabi Muhammad. Posisi kita berada dalam dialektika serta dinamika muslim dan tidak muslim, mukmin dan tidak mukmin. 'Sekadar' tidak bersyukur bisa menyorong kita terjun bebas menuju jurang kekufuran."
Sampai di sini Gok Jim terpaksa menyela pendapat Kamil.
"Teman-teman, apa yang baru saja kita dengar merupakan bangunan berpikir yang kita semua tidak menyangka akan diucapkan oleh Kamil. Inilah mengapa kita melakukan ngaji bareng."
"Tidak ada yang paling pintar atau paling bodoh. Semuanya sama. Semuanya sejajar. Semunya harus autentik terhadap pengalaman hidupnya masing-masing."
"Lebih baik kita merasa bodoh sehingga mau terus belajar daripada merasa pintar sehingga tega membodohi bahkan membodoh-bodohkan orang lain."