Kita nekat pulang kampung hanya untuk berbagi kesedihan. Alangkah mengenaskan!
Sekarang, kita membayangkan suasana saat kita menahan diri tidak pulang kampung. Kita tidak melakukan mudik online. Mudik kok online. Yang dibayangkan adalah kita melakukan sungkem online kepada Ayah dan Ibu. Bertatap wajah melalui video call.
"Alhamdulillah, Mak, saya sehat di sini. Bapak dan Emak bagaimana, sehat?"
"Alhamdulillah, Le, Bapak dan Emak sehat."
"Ngapunten ya, Mak, saya belum bisa pulang. Salim sungkem saya untuk Bapak dan Emak. Mohon maaf atas semua kesalahan saya, Mak." (Sambil mulai menahan isak).
(Emak mengusap matanya yang merah). "Oalaah, Le, sama-sama. Bapak dan Emak juga minta maaf. Lama sekali belum bisa nyambangi kamu. Semoga kamu diberi kesehatan dan dijaga hidupmu oleh Gusti Allah..."
(Kedua mata benar-benar basah). "Amin. Semoga Bapak dan Emak juga sehat. Doakan saya ya, Mak."
Sungkem online terlaksana. Keluarga di kampung semoga tetap sehat dan bahagia.
Setelah membayangkan dua opsi (nekat mudik atau bertahan tidak pulang kampung) bersama akibat yang menyertainya, kita tinggal memilih. Akal sehat dan logika yang waras pasti berpihak pada opsi menahan diri tidak mudik.
Bukan egoisme yang kita gelorakan, melainkan empati dan kasih sayang kepada orang tercinta yang kita perjuangkan.
Langkah ketiga adalah menyusun perencanaan teknis sebelum acara sungkem online berlangsung. Apa saja yang perlu ditata? Menghitung berapa kuota online yang diperlukan, apa aplikasi video call yang biasa digunakan oleh keluarga di desa, berapa lama durasi sungkem online berlangsung, serta persiapan teknis lainnya.