Saya memasang asumsi, yang tengah kita rindukan adalah romantisme pulang ke kampung halaman. Di sana kita menginjak tanah basah, menghirup udara segar yang diproduksi oleh rimbun pepohonan, membasuh wajah dengan air yang keluar dari sumur belakang rumah, menyentuh embun pagi di atas daun pisang, menikmati masakan ibu dari pawonan yang menggunakan kayu bakar...
Lalu kita pun beramai-ramai menghibur diri dengan mudik online yang kian menambah kerinduan. Â
3 Langkah sebelum Melakukan Sungkem Online
Alih-alih menghibur diri tapi sambil menahan kerinduan yang teramat sangat, mengapa kita tidak sekalian saja berdamai dengan kerinduan? Jadi, ini langkah pertama yang perlu dilakukan saat didera kerinduan yang menghebat.
Ya, berdamai---kita mengakui secara jujur bahwa kita menahan rindu. Ingin sekali pulang kampung. Ingin sekali berjumpa dengan sanak keluarga. Ingin sekali jagongan bersama kawan bermain masa kecil dahulu.
Namun, karena situasi dan kondisi belum mengizinkan kita harus menunda kepulangan itu. Kita rangkul rasa rindu secara ikhlas, legowo, dan apa adanya.
Mungkin pipi kita terasa hangat oleh bulir air mata. Menyelami kerinduan lebih dalam lagi siapa tahu menghasilkan sebiji puisi.
Langkah kedua adalah membayangkan beberapa akibat dari keputusan yang kita ambil. Upamanya kita tetap nekat pulang kampung. Sebelum keputusan itu dieksekusi, ambil jeda terlebih dahulu untuk membayangkan apa yang akan terjadi.
Keluarga di rumah, ayah, ibu, kakak, adik, Pak Dhe, Bu Dhe, keponakan, tetangga dekat bisa jadi tertular virus corona yang tanpa sadar kita bawa dari kota zona merah. Betapa repot dan ribet saat kita harus menjalani isolasi.
Harapan berjumpa dengan keluarga pun tertahan selama 14 hari di ruang isolasi. Itu pun kalau kita dinyatakan bebas corona. Akan sangat mengenaskan apabila acara pulang kampung berakhir di rumah sakit akibat kita ditetapkan sebagai pasien positif corona.
Membayangkannya kian membuat perasaan jadi miris. Bapak Emak sedih. Kakek nenek sedih. Kakak adik sedih. Pak Dhe Bu Budhe sedih.Â