Apakah popularitas harus diraih dengan kerja keras dan karya bernas? Tidak. Bahkan cukup dengan selembar sarung popularitas bisa melejit dalam waktu singkat.
Gara-gara sarung nama Gus Jim dikenal banyak orang. Mulai penjual Soto, anggota dewan hingga Bupati kenal semua dengan Gus Jim. Paling tidak pernah mendengar nama Gus Jim disebut.
"Oh, Gus Jim."
"Kenal?"
"Tidak, tapi saya sering mendengar nama itu. Orang yang ke mana-mana selalu memakai sarung."
"Benar, ke mana-mana selalu memakai sarung."
"Dan memakai kopiah hitam."
"Iya, ke mana-mana selalu memakai sarung dan kopiah hitam."
Popularitas Gus Jim melejit dalam waktu singkat gara-gara memakai sarung saat kondangan. Ya, hanya sarung, dipakai layaknya orang mengenakan sarung. Gus Jim disalami hadirin beramai-ramai. Tidak sedikit yang mencium tangannya bolak-balik. Kyai sepuh yang memimpin kondangan tidak diperlakukan semulia itu.
Sejak malam itu Gus Jim memutuskan untuk selalu memakai sarung. Padahal, berkali-kali ia menghadiri acara penting memakai celana panjang, jas dan dasi. Penampilannya meyakinkan. Namun, orang-orang tidak memuliakannya sebagaimana saat pertama kali ia memakai sarung.
Orang-orang yang biasa memanggilnya Mas Jim, kini menjunjung derajatnya lebih mulia sebagai Gus Jim.
Itulah saat yang revolusioner dalam hidup Gus Jim. Latar belakang pendidikan yang ditempuhnya selama bertahun-tahun diralat habis. Pendidikan model kaum bercelana tidak kompatibel dengan budaya sarungan, demikian Gus Jim menyimpulkan.
Gus Jim semakin mantap dengan keputusannya: ke mana pun pergi, apa pun acaranya, ia akan selalu memakai sarung dan kopiah hitam.
"Ma, apa sarungnya sudah disiapkan?" tanya Gus Jim kepada istrinya.
"Menghadiri acara bersama Bupati kok pakai sarung sih, Pa?"
"Apa salah kalau Papa memakai sarung?"
"Bukan salah, Pa. Biasanya Papa memakai celana panjang."
"Ini tidak biasa. Siapkan saja sarungnya."
Istri Gus Jim tidak menjawab lagi. Hanya seribu tanda tanya mengeliling kepalanya.
Demikianlah Gus Jim yang namanya mendadak populer, dihormati dan dimuliakan orang saat ke mana pun pergi dan apa pun acara yang dihadiri. Semuanya berkat sarung.
Karier sosial Gus Jim pun tak kalah melejit. Ketika masih memakai celana panjang ia adalah Bendahara Karang Taruna di desa. Kini, setelah memakai sarung saat ke mana pun pergi dan apa pun acara yang dihadiri, jabatan sebagai Pimpinan Andum Sembako tingkat kota berhasil diraihnya.
Waktu itu pemilihan berlangsung singkat. Semua sepakat mengangkat Gus Jim sebagai pimpinan mereka. Tidak perlu fit and proper test, tidak usah ada penyampaian visi misi. Apalagi menelisik sejarah masa lalu tentang sikap watu akik alias cetil alias medit yang sesungguhnya kontra produktif bagi lembaga Andum Sembako.Â
Satu alasan sudah cukup, dan itu mengalahkan obyektivitas akal sehat. Alasannya adalah Gus Jim selalu memakai sarung dan kopiah hitam ke mana pun ia pergi dan apa pun acara yang dihadiri.
Maka, tiada lagi yang membuat Gus Jim percaya diri selain ke mana pun ia pergi dan apa pun acara yang dihadiri, sarung dan kopiah hitam merupakan kostum yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Bukan hanya itu. Selain dikenal sebagai Gus yang luman nan dermawan, berkat sarung yang dipakainya saat pergi ke mana pun dan hadir di acara apa pun, jadwal pengajian Gus Jim setiap hari padat merayap. Para pengundang harus rela antre berbulan-bulan agar acaranya bisa dirawuhi Gus Jim.
Tepatnya bukan pengajian tetapi mengisi acara pelatihan pemberdayaan dan motivasi pentingnya bersedekah. Gus Jim tidak perlu menyiapkan bahan pelatihan dan materi motivasi apapun. Hadirin yang rela menunggunya teramat sangat yakin bahwa Gus Jim memiliki kompetensi yang mumpuni.
Kehadirannya di tengah umat menjadi cahaya motivasi yang dahsyat---membangkitkan umat yang didera rasa putus asa. Semuanya dilakukan tanpa mengeluarkan banyak kata, sebab Gus Jim yang selalu memakai sarung dan kopiah hitam ke mana pun pergi dan apa pun acara yang dihadiri adalah figur ideal bagi umat yang sekian lama merindukan sosok yang cerdas, berwibawa dan dermawan.
Gus Jim sendiri semakin meyakini dirinya adalah sosok yang cerdas, berwibawa dan dermawan. Ia sungguh mengira dirinya adalah figur yang tengah dibutuhkan umat. Karena itu, ia akan selalu memakai sarung dan mengenakan kopiah hitam. Orang-orang akan pula selalu menyambut dan memuliakannya.
Walaupun selalu memakai sarung dan kopiah hitam, orang-orang tidak lantas meminta Gus Jim mengaji sambil membaca kitab kuning layaknya lulusan pesantren yang dikenal sebagai kaum sarungan.
Entahlah, orang-orang itu berhasil mengelabuhi diri mereka sendiri agar sekali waktu jangan pernah meminta Gus Jim membaca kitab kuning ala pondok pesantren. Siapa pun yang meragukan kompetensi Gus Jim harus siap menanggung akibatnya. Umat siap berjihad.
Pokoknya, Gus Jim harus dijunjung, dihormati, dimuliakan karena ke mana pun pergi dan apa pun acara yang dihadiri ia selalu memakai sarung dan kopiah hitam.
"Sarung dan kopiah itu budaya Nusantara!"
"Benar, budaya Nusantara."
"Hidup budaya Nusantara!"
"Hidup Gus Jim!"
"Hidup...!"
Semuanya mengelu-elukan Gus Jim tanpa sungguh-sungguh pernah berusaha mengerti mengapa mereka mengelu-elukan Gus Jim. Yang mereka tahu, Gus Jim selalu memakai sarung dan kopiah hitam---ke mana pun pergi dan apa pun acara yang dihadiri.
Dalam waktu singat channel YouTube Gus Jim menyedot jutaan subscriber. Kontennya lebih banyak berisi vlog perjalanan dakwah Gus Jim. Kamera tidak pernah menyorot wajah Gus Jim secara middle shoot apalagi close up. Lebih sering long shot untuk menunjukkan ke mana pun pergi dan apa pun acara yang dihadiri Gus Jim selalu memakai sarung dan kopiah hitam. Â
Itu sebenarnya bukan petunjuk dari Gus Jim tapi inisiatif kameramen. Pernah ia mengambil gambar secara close up lalu segera ditarik lagi jadi long shoot. Saat itu ia menangkap seraut kemunafikan di sana.
Tiada seorang pun umat yang berani menolak kehadiran Gus Jim apalagi memprotes isi pikirannya---kecuali istri Gus Jim sendiri.
"Kenapa Papa sekarang tidak pernah memakai celana panjang?" tanya istrinya.
"Tidak apa-apa," jawab Gus Jim kalem. Tangannya masih sibuk memainkan HP. Barangkali ia sedang melayani tanya jawab secara online.
"Tidak apa-apa itu kenapa?"
"Ya tidak apa-apa."
Istri Gus Jim makin penasaran.
"Enak ya ke mana-mana memakai sarung?"
"Enak bagaimana?" tanya Gus Jim. HP diletakkan.
"Kalau mau main bisa cepat, tidak perlu melepas sabuk dan celana. Sarung tinggal dinaikkan ke atas."
Gus Jim menangkap kecurigaan yang dimaksud istrinya.
"Saya pergi keluar rumah untuk berdakwah, ngaji, memotivasi umat, bukan untuk urusan yang bikin Mama curiga."
"Kalau begitu Papa bisa pakai celana, tidak selalu memakai sarung," sergah istrinya.
Sampai di sini Gus Jim terdiam. Ia ingin sekali menyampaikan fakta yang sesungguhnya, namun tenggorokannya tercekat. Gus Jim khawatir istrinya makin tidak percaya.
"Semua sarung sudah Mama buang. Besok Papa harus kembali memakai celana panjang," ucap istri Gus Jim sambil ngeloyor pergi.
Gus Jim terpana. Di depan istri mengapa ia jadi goblok ndadak: kecerdasan, kewibaan, kedermawanan lenyap seketika.
Gus Jim belum sadar, di rumah ia tidak lagi memakai sarung dan kopiah hitam. Ketika istrinya barusan ngamuk, ia hanya mengenakan katok kolor.[]
Jagalan, 140520
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H