Pendidikan yang "Kompetensi Oriented"
Dalam urusan pendidikan Waskito juga memiliki "dosa besar" akibat membuat konsep branding sekolah unggulan. Ia mengelabuhi publik melalui kalimat tag line, image pencitraan, foto-foto, serta desain visual yang aduhai.
Itu semua dikerjakannya secara polos dan "jujur". Ia belum tahu, beberapa tahun ke depan, "ijtihad" kreativitasnya bisa menjadi mesin pencetak uang bagi sang juragan. Â Â
Konsep pendidikan itu lantas diyakini banyak orang sebagai aplikasi ideal praktik belajar di sekolah, tidak sebagai pendidikan yang benar-benar pendidikan, melainkan aplikasi untuk meraup keuntungan dagang melalui investasi berlabel pendidikan.
Pada konteks itu, Waskito bukan sekadar tersesat---ia bahkan menyesatkan konsumen pendidikan. Waskito pun meralat habis-habisan mindset-nya tentang sekolah, guru, dan pendidikan. Hal pertama yang dilakukan adalah "bertaubat nasuha". Ia merevolusi pandangannya tentang pendidikan.
Dahulu, Waskito mengagumi dan mengagungkan konsep kompetensi sebagai puncak tertinggi pencapaian belajar. Ia bahkan sering dijadikan contoh mengajar di depan kelas yang kurikulumnya berbasis kompetensi.
Kini, ia tidak lagi bertumpu pada kompetensi, meskipun ia juga tidak pernah menyalahkannya. Kompetensi sebagai indikator hasil belajar baru satu tahap pencapaian. Ia belum pencapaian akhir.
Sebelum siswa memutuskan belajar untuk mencapai kompetensi tertentu, seyogianya ia dipandu untuk menemukan "siapa dirinya". Dibimbing untuk mengenali "DNA" potensinya.
Ibarat ia seekor ikan, kenali terlebih dahulu bahwa dirinya adalah ikan. Baru ia belajar "kompetensi" berenang.
Sayangnya, pendidikan kita belum mengedepankan orisinalitas peserta didik secara otentik. Yang terjadi justru penyeragaman. Baik itu ikan, ayam, singa, kambing, ular dijejali "kompetensi" yang seragam.
Praktik pendidikan di sekolah masih terbelenggu oleh kurikulum pesanan berbasis kompetensi sehingga tidak menghasilkan pribadi yang otentik.