Ini baru tersesat di tahap awal, yakni tidak adanya upaya pendidikan yang mendorong siswa mengenal dirinya. Bahkan, hal ini diperparah oleh ketiadaan upaya yang mengenalkan siswa dengan lingkungan terdekatnya.
Siswa buta terhadap sejarah dusunnya. Tidak mengerti potensi di sekitar lingkungannya. Tidak memahami visi masa depan tanah kelahirannya.
Lantas buat apa menguasai kompetensi yang diamanatkan kurikulum? Ini dosa pendidikan yang kedua, yakni untuk menjadi warga urban yang antre melamar pekerjaan di kota.
Dusun dan desa ditinggal pergi warganya sendiri. Hanya ada generasi tua. Semakin jarang melihat anak-anak muda yang turun mengolah sawah dan kebun. Rata-rata mereka ingin jadi pegawai yang priyayi di kota.
Kompetensi yang mereka pelajari selama sekolah dan kuliah dijadikan tangga untuk naik ke status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Apa ini salah? Tidak juga, karena mindset berpikir ini telah sukses ditanamkan oleh formalisme pendidikan.
Justru yang jadi masalah adalah kompetensi itu membentuk perilaku yang individualistis. Ia kehilangan makna dan kontribusi sosial. Para koruptor adalah lulusan pendidikan tinggi yang kompetensinya tidak diragukan lagi.
Jadi, dosa kedua ini dampaknya bukan sekadar menimpa individu pelakunya. Ia menjadi beban yang harus dipikul oleh keberlangsungan hidup komunal di masyarakat. Bahkan, beban pula bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menjadi Manusia yang Bermanfaat untuk Orang Lain
Memperoleh kesempatan bicara di depan siswa SMK, Waskito pun mewanti-wanti mereka dengan gelora semangat 45. Semoga dosa ketiga pendidikan tidak dikerjakan oleh anak-anak SMK itu.
"Anda telah menguasai kompetensi sesuai jurusan yang Anda pilih. Yang belajar otomotif punya kompetensi otomotif. Yang belajar tata boga punya kompetensi tata boga. Demikian pula yang belajar di jurusan multimedia, Anda punya kompetensi multimedia," ucap Waskito.
"Namun, jangan berhenti pada kompetensi. Selain sebagai bekal untuk melamar pekerjaan, gunakan kompetensi Anda untuk memberikan manfaat pada orang lain. Pencapaian tertinggi Anda adalah manakala Anda menggunakan kompetensi itu untuk kemanfaatan hidup orang lain. Asas hidup kita bukan kompetensi, melainkan manfaat untuk orang lain."