Tiba di desa Pojok Klitih kami istirahat. Siang cukup terik. Tenggorokan kering. Tidak ada niat membatalkan puasa meskipun ini belum separo perjalanan. Teras rumah warga yang asri jadi sasaran untuk ndlosor sejenak. Merebahkan badan, ngencengno punggung.
Sambil menunggu pasukan motor yang akan menjemput, kami berunding dengan pemuda desa setempat. Mobil harus ditinggal. Sangat berisiko membawa "mobil kota" yang tidak kompatibel dengan struktur medan.
Dalam kondisi berpuasa memang berat menempuh medan yang ekstrem. Beberapa teman bahkan memutuskan tidak ikut bersama rombongan. Sebenarnya eman juga melewatkan kesempatan ini. Setelah diyakinkan ia pun bangkit kembali ikut bersama rombongan.
Saya sudah niat ingsun sejak awal akan menemani rombongan hingga tiba di lokasi. Puasa bukan kendala. Pasti masih lebih berat saudara kita yang belum tahu akan bisa berbuka atau tidak karena ketiadaan makanan.
Apakah warga Rapahombo hidup dalam kekurangan bahan makanan? Tidak. Mereka baik-baik saja dan semoga akan baik-baik saja. Yang tengah kami lakukan adalah meneguhkan komitmen untuk selalu connecting happiness dengan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Terdengar suara knalpot meraung-raung. Dari kejauhan enam rombongan pasukan bermotor telah datang. Pengendaranya anak-anak muda. Yang menjadi joki motor yang saya naiki namanya Rista. Ia siswa kelas dua SMK jurusan mesin di Lamongan.
Saya berangkat paling awal bersama Rista. Uji nyali dan uji adrenalin dimulai. Rista menggeber motornya. Suara knalpot motor trail Viar menggelorakan tantangan.
Jalan paving kini berubah jadi jalan tanah berbatu. Di depan kami tampak hutan jati. Jalanan semakin terjal dan menanjak. Saya memegang kedua pundak Rista.