Berangkat dari tema Waisak: "Persaudaraan Sejati Dasar Keutuhan Bangsa", kita bisa menemukan rangkaian cara berpikir guna menemukan makna secara hakiki. Ketika manusia belum menjadi "manusia" rasanya sulit membangun optimisme persaudaraan sejati. Bagaimana hal ini dijelaskan?Â
Pradaksina: Perjalanan Kamadatu, Rupadatu dan Arupadatu
Kita ambil terminologi proses kesadaran hidup manusia yang disimbolkan oleh kamadatu, rupadatu dan arupadatu.
Kamadatu adalah proses kesadaran hidup manusia yang menuhankan materi, hawa nafsu, dan ambisi kekuasaan. Orientasi hidupnya bertumpu pada kepuasan seksual, penumpukan harta benda serta pencapaian kehormatan semu.
Ketika manusia berada pada tangga kamadatu, ia berperilaku tak ubahnya hewan. Memangsa kawan sendiri, membunuh martabat orang lain, memakan daging hak milik sesama manusia. Ia dikuasai beragam keinginan, hasrat dan nafsu---bagaikan kama tanpa bentuk.
Optimisme, apalagi persaudaraan sejati, rasanya mustahil menetes dari perilaku manusia kamadatu.
Kita perlu beranjak naik ke tangga lapisan berikutnya, yaitu mengendalikan keinginan, hasrat dan nafsu. Menatap diri secara jujur. Ternyata, kita belum menjadi "manusia" seutuhnya.
Pada lapisan kesadaran ini kita dihadapkan pada bermacam-macam jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Keduanya tarik-menarik, dan kita berada di tengah. Kita menyebutnya rupadatu, tahapan penuh rupa.
Pada tahap ini kita melakukan perang. Islam menyebutnya Perang Besar (jihadul akbar). Ya, perang antara tekad menempuh jalan kebaikan melawan nafsu menikmati jalan keburukan. Medan perangnya adalah semesta kesadaran di dalam diri yang tidak memiliki batas.
Kadang kita merasa optimis menghadapi kehidupan. Kadang pula pesimis melihat kenyataan. Optimisme dan pesimisme menjadi dua dikotomi yang saling bertempur.
Optimisme perang melawan pesimisme. Ini baru satu konteks kesadaran. Belum peperangan antardikotomi yang lain, seperti persaudaraan melawan egoisme, kerukunan melawan perpecahan, kesejatian melawan kepalsuan.