Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Belajar Kembali Menjadi Manusia

7 Mei 2020   20:05 Diperbarui: 7 Mei 2020   20:05 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS.com/ANTARA FOTO/ANDREAS FITRI ATMOKO

Soal optimisme jangan ditanya. Saya, Anda dan kita semua tentu memiliki optimisme masing-masing. Berani hidup harus berani menghadapi tantangan. Tidak berani menerima tantangan jangan hidup. Persoalannya, bagaimana kita menjaga optimisme tetap menyala?

Hidup dan tantangan adalah dua sisi mata uang. Bahkan, tantangan dan perjuangan kita hadapi sejak dalam proses pembuahan sperma kepada sel telur (ovum). Kelahiran dan kehidupan kita saat ini hingga kelak merupakan hasil dari perenungan dan kerja keras menghadapi tantangan demi tantangan.

Yang penting hidup ataukah "hidup" itu penting? Pertanyaan ini kerap timbul tenggelam dalam lautan kesadaran. Yang penting hidup, angger urip, rasanya kurang sreg untuk dijalani. Tidak memiliki tujuan, misi, apalagi visi masa depan. Hewan pun sanggup menjalaninya.

Sedangkan "hidup" itu penting mengisyaratkan kesadaran bahwa "hidup" bukan sekadar hidup. Dalam kesadaran yang benar-benar "hidup" kita tidak menjalani aktivitas biologis hewani semata. Kita pun dituntut bukan saja memandang visi masa depan, melainkan memberikan makna pada setiap pengalaman.

Jadi, "hidup" dan hidup itu beda. Apa bedanya? Kita menjawabnya melalui metode puasa, amal baik, bermeditasi hingga mencapai pencerahan sempurna. Pada tahap ini optimisme tidak lagi menjadi tujuan, melainkan rangkaian kontinuasi dari pencapaian yang seimbang dan sempurna. Kesadaran yang terbebas dari lingkaran kehidupan (samsara).

Tidak Kehilangan Makna Meski Beribadah di Rumah

Hari ini, Kamis (7/5/2020), bertepatan dengan umat Budha merayakan Waisak 2564 BE/2020. Dikenal juga sebagai Tri Suci Waisak, momentum ini memperingati tiga peristiwa penting, yakni kelahiran Pangeran Siddharta, pencapaian Siddharta menjadi Budha, dan wafatnya Buddha Gautama.

Umat Buddha tidak menyelenggarakan perayaan Waisak di candi Mendut maupun candi Borobudur pada Waisak 2564 BE/2020 M. Langkah itu demi mencegah penularan virus corona.

Meski demikian, pembatasan ibadah tersebut tidak mengurangi kekhusyukan saudara kita umat Budha. Sebagaimana umat Islam juga diimbau beribadah di rumah selama bulan Ramadan.

Pada situasi pandemi beribadah tidak harus dikerjakan di masjid dan vihara. Peringatan hari Waisak dengan tema "Persaudaraan Sejati Dasar Keutuhan Bangsa" dilaksanakan di rumah masing-masing.

Bukan tempat ibadahnya di mana, melainkan bagaimana kita memaknai momentum suci tersebut. Pemaknaan ini tidak bergantung pada masjid dan vihara. Persoalannya, bagaimana kita memaknai bulan Ramadan dan Waisak secara kontekstual?

Berangkat dari tema Waisak: "Persaudaraan Sejati Dasar Keutuhan Bangsa", kita bisa menemukan rangkaian cara berpikir guna menemukan makna secara hakiki. Ketika manusia belum menjadi "manusia" rasanya sulit membangun optimisme persaudaraan sejati. Bagaimana hal ini dijelaskan? 

Pradaksina: Perjalanan Kamadatu, Rupadatu dan Arupadatu

Kita ambil terminologi proses kesadaran hidup manusia yang disimbolkan oleh kamadatu, rupadatu dan arupadatu.

Kamadatu adalah proses kesadaran hidup manusia yang menuhankan materi, hawa nafsu, dan ambisi kekuasaan. Orientasi hidupnya bertumpu pada kepuasan seksual, penumpukan harta benda serta pencapaian kehormatan semu.

Ketika manusia berada pada tangga kamadatu, ia berperilaku tak ubahnya hewan. Memangsa kawan sendiri, membunuh martabat orang lain, memakan daging hak milik sesama manusia. Ia dikuasai beragam keinginan, hasrat dan nafsu---bagaikan kama tanpa bentuk.

Optimisme, apalagi persaudaraan sejati, rasanya mustahil menetes dari perilaku manusia kamadatu.

Kita perlu beranjak naik ke tangga lapisan berikutnya, yaitu mengendalikan keinginan, hasrat dan nafsu. Menatap diri secara jujur. Ternyata, kita belum menjadi "manusia" seutuhnya.

Pada lapisan kesadaran ini kita dihadapkan pada bermacam-macam jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Keduanya tarik-menarik, dan kita berada di tengah. Kita menyebutnya rupadatu, tahapan penuh rupa.

Pada tahap ini kita melakukan perang. Islam menyebutnya Perang Besar (jihadul akbar). Ya, perang antara tekad menempuh jalan kebaikan melawan nafsu menikmati jalan keburukan. Medan perangnya adalah semesta kesadaran di dalam diri yang tidak memiliki batas.

Kadang kita merasa optimis menghadapi kehidupan. Kadang pula pesimis melihat kenyataan. Optimisme dan pesimisme menjadi dua dikotomi yang saling bertempur.

Optimisme perang melawan pesimisme. Ini baru satu konteks kesadaran. Belum peperangan antardikotomi yang lain, seperti persaudaraan melawan egoisme, kerukunan melawan perpecahan, kesejatian melawan kepalsuan.

Tahapan rupadatu adalah pertempuran antara yang baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek.

Kesadaran yang berperang untuk saling mengalahkan itu menyelusup ke dalam lipatan, tikungan, lapisan serta detail kesadaran yang tidak mudah dibahasakan.

Optimisme dan persaudaraan sejati mulai menemukan bentuknya, tapi mudah "ambyar" oleh dorongan ambisi sesaat.

Ketika manusia berhasil mengalahkan keburukan, kesalahan, kejelekan, serta mengendalikan detail lembut nafsu dan ambisinya, ia melangkah ke tahapan selanjutnya. Naik ke atas, menuju kesadaran sejati. Ia melebur ke dalam zat yang tanpa definisi, tanpa rupa: arupadatu.

Jiwanya menemukan keheningan yang penuh. Nafsunya berada dalam keheningan muthmainah. Ia siap menerima pencerahan agung. Inilah manusia sejati. Optimismenya sejati. Persaudaraannya sejati.

Manusia yang Sepenuhnya Sadar

Ia menyadari seutuhnya bahwa dirinya adalah manusia. Ia menemukan identitas sejati. Karena ia sadar penuh bahwa Dirinya adalah manusia, maka ia memberlakukan orang lain sebagai sesama manusia. Sikap dan budinya penuh kasih sayang, baik kepada orang lain maupun kepada semua makhluk.

Optimisme yang sejati lantas dibagikan kepada sesama manusia agar tercipta tali persaudaraan yang sejati. Ia menjadi cahaya yang menerangi lingkungan di sekelilingnya.

Jadi, puncak pradaksina, perjalanan berkeliling mulai dari kamadatu, rupadatu ke arupadatu adalah siapa yang mengenali dirinya sebagai manusia sejati akan mengenali zat yang tanpa definisi.

Pencerahan agung ditandai oleh berlimpahnya kasih dan sayang diri arupadatu kepada manusia dan semua makhluk. Ia pun lahir kembali sebagai Budha.

Selamat Hari Waisak 2020

Selamat menunaikan ibadah puasa bulan Ramadan 1441 H

Jagalan, 070520

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun