"Kalau keluar rumah, berjualan, atau narik becak, maskernya dipakai, biar aman."
"Satu orang satu masker. Jangan satu masker dipakai bergantian..."
Warga pun meresponsnya dengan antusias. Perasaan haru, salut, trenyuh menyelinap ke dalam hati saya. Ini bukan romantisme yang cengeng. Bukan pula sikap bangga hati karena mau berbagi lalu dibranding sebagai sikap yang rendah hati. Adegan siang itu menerbitkan matahari optimisme.
Adapun hubungan saya dengan teman-teman FP3J cukup dekat. Mereka bukan para pejuang filantropi yang gagah perkasa meneriakkan penderitaan orang kecil. Tidak pula cakap membuat proposal dana kemanusiaan sebagai "proyek" yang menggiurkan. Apalagi memukau "pemilik modal" yang dananya diunduh melalui teknik presentasi tingkat tinggi.
Warga rumah kontrakan dan teman-teman saya adalah rakyat biasa dalam arti yang sebenarnya. Lingkup pemberdayaan yang mereka kerjakan juga tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar. Namun, saya jatuh cinta dengan kesungguhan, kekompakan, ketulusan anak-anak muda ini.
Doa dan harapan saya, yang dianggap kecil oleh mata manusia semoga memiliki nilai Kemuliaan di hadapan-Nya.
Saya meyakini pertemuan teman-teman FP3J bersama YBM PLN Mojokerto sebagai pertemuan yang momentumnya disutradarai oleh Yang Maha Kuasa. Tumbu ketemu tutup, kata orang Jawa.
Pandemi Covid-19 menggerakkan sesama orang kecil melalui jalinan tolong menolong dan kebersamaan gotong royong. Aku melindungimu, kamu melindungiku menjadi kesadaran bersama untuk kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Semoga[]
Jagalan, 2 April 2020