Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karena Pohon dan Hewan adalah "Saudara Tua" Manusia

2 Maret 2020   22:31 Diperbarui: 2 Maret 2020   22:43 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Jacky. Dia punya adik namanya Rambo. Dua bersaudara ini lantas terpisah karena Rambo diadopsi dan dirawat tetangga saya.

Saya tidak sempat menunggu persalinan lahirnya Jacky dan Rambo. Sekitar jam 4 sore, sepulang kerja, saya mencari Supiah. Sepi. Saya memeriksa sudut ruangan. Di pojok ruang dapur, saya dapati Supiah baru saja melahirkan dua anaknya, Jacky dan Rambo.

Lantai tempat ia melahirkan anaknya sangat bersih. Tidak ada bekas apapun di atas lantai yang menunjukkan Supiah usai melahirkan anaknya. Supiah, Jacky dan Rambo adalah kucing kesayangan keluarga saya. Kini, Jacky berusia dua tahun dan selama itu pula ia hidup bersama kami.

Saudara Tua yang Harus Disayangi 

Saya sampaikan pada anak bungsu saya yang berusia tujuh tahun bahwa hewan adalah saudara tua manusia.

Tentu saja dia bingung. Dipikirnya manusia itu ya bersaudara sesama manusia. Adik bersaudara dengan kakak. Kita adalah saudara dari Paman, Pakdhe, Budhe dan seterusnya.

"Mengapa manusia bersaudara dengan hewan?" tanya anak saya. Ngobrol santai pun dimulai.

Sebelum ada manusia, Tuhan menciptakan hewan terlebih dahulu. Sebelum hewan, Tuhan menciptakan tumbuh-tumbuhan. Sebelum tumbuh-tumbuhan, Tuhan menciptakan air, api, tanah, udara.

Kurang lebih urutannya seperti ini: Tuhan menciptakan materi (tanah, air, api, udara dan unsur pendukung lainnya). Materi yang bisa tumbuh jadilah pohon atau tumbuh-tumbuhan. Materi yang bisa tumbuh, beranak pinak dan bergerak mengisi ruang jadilah hewan.

Setelah semua itu tercipta, Tuhan menurunkan manusia ke bumi. Jadi, kita, manusia, adalah "generasi bungsu" dari proses sangat panjang penciptaan alam semesta. Hewan, tumbuh-tumbuhan, air, api, tanah dan udara adalah "saudara tua" .

Anak saya diam. Mungkin dia sedang berpikir keras mencerna penuturan saya.

"Apakah hewan bisa hidup tanpa manusia?" dia bertanya.

"Menurut Adik bagaimana?" saya balik bertanya.

"Tidak bisa."

"Kenapa?"

"Tiap hari kita memberi makan Jacky. Kalau tidak diberi makan Jacky bisa mati," katanya.

Demikianlah mengobrol santai dengan anak memang membahagiakan.

Pelan-pelan saya menyampaikan bahwa pohon dan hewan bisa hidup tanpa manusia. Sebaliknya, manusia tidak bisa hidup tanpa pohon dan hewan. Manusia juga bisa mati tanpa ketersediaan air, udara dan bahan makanan yang mencukupi.

Kita sangat memerlukan udara bersih, air bersih, makanan bersih yang disediakan alam. Bahkan tanah tempat kita berpijak tetaplah menjadi tanah yang berjodoh dengan air dan akar pepohonan. Mustahil kita bertahan hidup tanpa tanah, air, udara dan akar pohon.

Siapa yang Sesungguhnya Tidak Beradab?

Hubungan kita dengan hewan kesayangan bukan sebatas karena ia jinak. Lebih dari itu. Semua unsur alam semesta di luar diri kita adalah saudara tua yang wajib dijaga keseimbangan sunnatullah-nya. Sebagai saudara muda kita bahkan harus menerapkan tata krama, sopan santun dan prinsip etika andap asor.

Pada konteks yang lain, kita juga perlu membenahi persepsi pikiran, misalnya tentang "binatang kesayangan", "binatang buas", "hukum rimba". Apakah karena Singa memangsa Kijang lantas ia dikatakan sebagai buas? Apakah karena Kambing makan rumput ia tidak menyandang status buas? Mengapa hukum rimba dikonotasikan sebagai mekanisme hukum yang kejam dan tidak adil? Padahal hukum rimba di "alam binatang" berlaku secara telanjang, apa adanya, dan seimbang.

Atau jangan-jangan konotasi negatif terhadap hukum rimba merefleksikan tata sosial kehidupan kita sendiri yang makin jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab?

Masyarakat tradisional tidak mengenal mitologi atau klenik. Tidak ada gugon tuhon. Itulah "etika lingkungan" yang harus diugemi oleh anak cucu demi menjaga dan menghormati "saudara tua".

Ini bukan sekadar larangan menebang pohon beringin di pinggir desa yang katanya ada penunggunya. Bukan pula sekadar larangan menembak kera di hutan larangan supaya tidak kualat. Atau ketika mobil Anda melindas seekor kucing sampai mati disarankan agar melakukan slametan.

Berbeda dengan manusia modern yang tengah melakukan rasionalisasi terhadap pikirannya sendiri---walaupun aslinya tidak rasional---agar bebas menjarah kandungan alam, seraya menafikan etika andap asor terhadap lingkungan. Semacam pembenaran yang diilmiah-ilmiahkan. Lalu, lahirlah istilah klenik, mitos, takhayul dan sebagainya.

Ternyata suku pedalaman yang hidup di tengah hutan belantara lebih logis, lebih rasional, lebih bijaksana saat "bersuami istri" dengan alam. Sementara kita selalu ribut setiap tahun saat musim penghujan datang. Siapa yang aslinya tidak beradab?

Baiklah. Selain hewan kesayangan, ternyata kita juga memiliki tanah kesayangan, pohon kesayangan, air kesayangan, udara kesayangan, matahari kesayangan, ozon kesayangan...

Saya pikir anak saya sudah lelap tertidur. Ia nyeletuk bertanya, "Kenapa manusia suka merusak alam, Pak?"

Saya terdiam. Jawabannya bisa sangat panjang, Nak, batin saya.[]

Jagalan Pebruari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun