Atau jangan-jangan konotasi negatif terhadap hukum rimba merefleksikan tata sosial kehidupan kita sendiri yang makin jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab?
Masyarakat tradisional tidak mengenal mitologi atau klenik. Tidak ada gugon tuhon. Itulah "etika lingkungan" yang harus diugemi oleh anak cucu demi menjaga dan menghormati "saudara tua".
Ini bukan sekadar larangan menebang pohon beringin di pinggir desa yang katanya ada penunggunya. Bukan pula sekadar larangan menembak kera di hutan larangan supaya tidak kualat. Atau ketika mobil Anda melindas seekor kucing sampai mati disarankan agar melakukan slametan.
Berbeda dengan manusia modern yang tengah melakukan rasionalisasi terhadap pikirannya sendiri---walaupun aslinya tidak rasional---agar bebas menjarah kandungan alam, seraya menafikan etika andap asor terhadap lingkungan. Semacam pembenaran yang diilmiah-ilmiahkan. Lalu, lahirlah istilah klenik, mitos, takhayul dan sebagainya.
Ternyata suku pedalaman yang hidup di tengah hutan belantara lebih logis, lebih rasional, lebih bijaksana saat "bersuami istri" dengan alam. Sementara kita selalu ribut setiap tahun saat musim penghujan datang. Siapa yang aslinya tidak beradab?
Baiklah. Selain hewan kesayangan, ternyata kita juga memiliki tanah kesayangan, pohon kesayangan, air kesayangan, udara kesayangan, matahari kesayangan, ozon kesayangan...
Saya pikir anak saya sudah lelap tertidur. Ia nyeletuk bertanya, "Kenapa manusia suka merusak alam, Pak?"
Saya terdiam. Jawabannya bisa sangat panjang, Nak, batin saya.[]
Jagalan Pebruari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H