"Apakah hewan bisa hidup tanpa manusia?" dia bertanya.
"Menurut Adik bagaimana?" saya balik bertanya.
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"Tiap hari kita memberi makan Jacky. Kalau tidak diberi makan Jacky bisa mati," katanya.
Demikianlah mengobrol santai dengan anak memang membahagiakan.
Pelan-pelan saya menyampaikan bahwa pohon dan hewan bisa hidup tanpa manusia. Sebaliknya, manusia tidak bisa hidup tanpa pohon dan hewan. Manusia juga bisa mati tanpa ketersediaan air, udara dan bahan makanan yang mencukupi.
Kita sangat memerlukan udara bersih, air bersih, makanan bersih yang disediakan alam. Bahkan tanah tempat kita berpijak tetaplah menjadi tanah yang berjodoh dengan air dan akar pepohonan. Mustahil kita bertahan hidup tanpa tanah, air, udara dan akar pohon.
Siapa yang Sesungguhnya Tidak Beradab?
Hubungan kita dengan hewan kesayangan bukan sebatas karena ia jinak. Lebih dari itu. Semua unsur alam semesta di luar diri kita adalah saudara tua yang wajib dijaga keseimbangan sunnatullah-nya. Sebagai saudara muda kita bahkan harus menerapkan tata krama, sopan santun dan prinsip etika andap asor.
Pada konteks yang lain, kita juga perlu membenahi persepsi pikiran, misalnya tentang "binatang kesayangan", "binatang buas", "hukum rimba". Apakah karena Singa memangsa Kijang lantas ia dikatakan sebagai buas? Apakah karena Kambing makan rumput ia tidak menyandang status buas? Mengapa hukum rimba dikonotasikan sebagai mekanisme hukum yang kejam dan tidak adil? Padahal hukum rimba di "alam binatang" berlaku secara telanjang, apa adanya, dan seimbang.