Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kurikulum Muatan Lokal Keagamaan, Antara Utopia dan Egoisme Pendidikan

8 Januari 2020   13:16 Diperbarui: 10 Januari 2020   12:28 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS.COM/MOH.SYAFII

Apa yang sesungguhnya sedang menimpa pendidikan di Indonesia? Tidak mudah menjawabnya, kendati data dan fakta begitu gamblang menampilkan sejumlah keprihatinan.

Saya tidak tengah menularkan virus pesimisme. Namun, mencermati perjalanan pendidikan di tingkat lokal kabupaten saja, rasanya bikin gemes. Ngeri-ngeri sedap.

Bagaimana tidak? Membaca rilis hasil Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) 2018, sudah bukan kabar buruk lagi. Ini tragedi pendidikan yang melingkar-lingkar seperti setan.

Rata-rata skor siswa Indonesia adalah 371 kemampuan membaca, 379 kemampuan matematika, 396 kemampuan sains. Capaian skor ini di bawah rata-rata 79 negara peserta PISA.

Tes PISA tidak mengukur kemampuan siswa menguasai konten kurikulum, melainkan untuk mengetahui apakah siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini berkaitan langsung dengan kemampuan literasi membaca, literasi matematika, literasi sains. Hasil skor PISA yang rendah menunjukkan kemampuan literasi yang juga rendah. 

Artinya, siswa di Indonesia (yang diuji melalui tes PISA) belum memiliki kemampuan berpikir logis yang mendasar dalam hal membaca, matematika dan sains.

Bukan hanya kecewa --bahkan sangat ingin marah, tapi entah ditumpahkan kepada siapa atau apa. Sementara stakeholder pendidikan masih mbeguguk nguto watu alias diam di tempat, tidak mau bergerak atau digerakkan.

Suasana di Kota Santri yang Perlu Dicermati
Alih-alih melakukan pembenahan filosofi pembelajaran, atau mengerjakan perubahan mendasar sesuai data faktual pencapaian pendidikan Nasional yang dirilis PISA. 

Tahun ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang memulai penerapan Kurikulum Muatan Lokal Keagamaan dan Pendidikan Diniyah pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.

Sekilas program tersebut terkesan menjanjikan. Apalagi Jombang dikenal sebagai Kota Santri. Namun, akan seperti apa efektivitas, output dan outcome program muatan lokal keagamaan itu?

Rasanya, program pendidikan yang digulirkan Bupati Munjidah itu jauh api dari panggang. Pertama, ditilik dari nama programnya saja: Muatan Lokal Keagamaan, terdapat silang sengkarut etimologis dan teologis. 

Agama yang diyakini oleh pemeluknya sebagai nilai dan kesadaran universal, dijadikan sekadar "muatan lokal" dan berlaku dalam skala lokal pula. 

Agama sebagai kesadaran universal yang "di-muatanlokal-kan" akan menghasilkan manusia-manusia berkesadaran lokal yang sempit, mudah tersinggung dan gampang ngamukan.

Tidak heran, jangan-jangan perilaku intoleran dalam kehidupan beragama dipicu oleh kesembronoan yang mendasar seperti itu.

Kedua, terdapat disparitas kebijakan dan regulasi pendidikan tingkat lokal kabupaten dengan kabar buruk wajah pendidikan tingkat nasional.

Stakeholder di tingkat kabupaten tidak merefleksikan kebijakannya melalui kajian mendalam tentang, misalnya hasil PISA 2018 atau sejumlah fakta Darurat Pendidikan Nasional yang lain. 

Program pendidikan di tingkat lokal kabupaten sangat mudah terkurung dalam penjara utopia dan cita-cita semu. Program semacam ini biasanya mereproduksi pola pendidikan lama yang dianggap berhasil, tanpa mencermati apalagi mengkritisi pijakan filosofi dan substansinya.

Sulit untuk tidak mengatakan Program "Muatan Lokal" Keagamaan merupakan produk dari egoisme lokal pemimpinnya.

Ketiga, Program Muatan Lokal Keagamaan dan Pendidikan Diniyah di Kabupaten Jombang menambah jam belajar peserta didik. Mereka pulang sekolah pukul 15.00 WIB. 

Sekolah yang mencanangkan diri sebagai Sekolah Ramah Anak tidak luput dari kewajiban melaksanakan program dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini.

Saya benar-benar tidak mengerti keramahan model bagaimana yang diterapkan sekolah sehingga peserta didik harus berada lebih lama di lingkungan yang lebih banyak mengajar daripada mendidik? Sekolah Ramah Anak ini ramah menurut siapa? Apakah kita pernah mengadakan survei kepada peserta didik bahwa sekolah mereka ramah terhadap anak-anak?

Keempat, mengapa program Muatan Lokal Keagamaan dan Pendidikan Diniyah tidak dikerjasamakan dengan masyarakat? 

Sejumlah Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) dan Madrasah Diniyah yang tersebar di desa dan kecamatan merupakan potensi pendidikan nonformal yang perlu dioptimalkan.

Praktisnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama Kab. Jombang bekerja sama untuk menandatangani keputusan bahwa syarat mendaftar dari SD/MI ke SMP/Mts atau SMP/Mts ke SMA/Aliyah menyerahkan Ijazah Lulus dari TPQ atau Madrasah Diniyah. 

Juklak atau juknis pelaksanaannya bisa disosialisasikan secara bertahap kepada lembaga nonformal tersebut.

Bisa dibayangkan, kehidupan Jombang sebagai Kota Santri seusai peserta didik pulang dari sekolah, lebih bergairah. Pada sore hari, di pelosok-pelosok kampung, anak-anak berangkat mengaji.

Suasana di kota santri
Asik senangkan hati
Suasana di kota santri
Asik senangkan hati

Tiap pagi dan sore hari
Muda mudi berbusana rapi
Menyandang kitab suci
Hilir mudik silih berganti
Pulang pergi mengaji
Pulang pergi mengaji

(Lirik lagu "Kota Santri")

Namun, faktanya, sekolah melalui egoisme kebijakan lokal pemimpinnya, justru "membunuh" gairah belajar anak-anak yang digerakkan oleh masyarakat di lingkungan terdekatnya.

Sekolah menjadi seperti "Pegadaian" yang menyelesaikan masalah tanpa masalah. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya: sekolah menyelesaikan masalah dengan menambah masalah.[]

Jagalan, 8 Jan 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun