Rasanya, program pendidikan yang digulirkan Bupati Munjidah itu jauh api dari panggang. Pertama, ditilik dari nama programnya saja: Muatan Lokal Keagamaan, terdapat silang sengkarut etimologis dan teologis.Â
Agama yang diyakini oleh pemeluknya sebagai nilai dan kesadaran universal, dijadikan sekadar "muatan lokal" dan berlaku dalam skala lokal pula.Â
Agama sebagai kesadaran universal yang "di-muatanlokal-kan" akan menghasilkan manusia-manusia berkesadaran lokal yang sempit, mudah tersinggung dan gampang ngamukan.
Tidak heran, jangan-jangan perilaku intoleran dalam kehidupan beragama dipicu oleh kesembronoan yang mendasar seperti itu.
Kedua, terdapat disparitas kebijakan dan regulasi pendidikan tingkat lokal kabupaten dengan kabar buruk wajah pendidikan tingkat nasional.
Stakeholder di tingkat kabupaten tidak merefleksikan kebijakannya melalui kajian mendalam tentang, misalnya hasil PISA 2018 atau sejumlah fakta Darurat Pendidikan Nasional yang lain.Â
Program pendidikan di tingkat lokal kabupaten sangat mudah terkurung dalam penjara utopia dan cita-cita semu. Program semacam ini biasanya mereproduksi pola pendidikan lama yang dianggap berhasil, tanpa mencermati apalagi mengkritisi pijakan filosofi dan substansinya.
Sulit untuk tidak mengatakan Program "Muatan Lokal" Keagamaan merupakan produk dari egoisme lokal pemimpinnya.
Ketiga, Program Muatan Lokal Keagamaan dan Pendidikan Diniyah di Kabupaten Jombang menambah jam belajar peserta didik. Mereka pulang sekolah pukul 15.00 WIB.Â
Sekolah yang mencanangkan diri sebagai Sekolah Ramah Anak tidak luput dari kewajiban melaksanakan program dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini.
Saya benar-benar tidak mengerti keramahan model bagaimana yang diterapkan sekolah sehingga peserta didik harus berada lebih lama di lingkungan yang lebih banyak mengajar daripada mendidik? Sekolah Ramah Anak ini ramah menurut siapa? Apakah kita pernah mengadakan survei kepada peserta didik bahwa sekolah mereka ramah terhadap anak-anak?