Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia "Gembelengan"

24 September 2019   22:17 Diperbarui: 24 September 2019   22:33 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: yukepo.com

Setelah engkau ciptakan kerusakan, ketidakseimbangan, kebocoran, kebobrokan, mengapa Tuhan yang engkau todong untuk menyelesaikannya?

Setelah langit memerah, asap menyerang sudut paru-paru, bernafas pun terasa sesak, Tuhan "diperintah" agar segera menurunkan hujan.

Atau baiklah, kita sebut saja berdoa, memohon, menghiba, meminta pertolongan. Namun, tahun depan kita merancang bencana kehancuran secara lebih sempurna. Lalu, kita berdoa lagi, memohon lagi, meminta pertolongan lagi.

Kira-kira apa yang "dipikirkan" Tuhan mengenai perilaku kita?

Tuhan pun Maha Berbagi

Kita mengolah tanah, menyiraminya, menanam benih di dalamnya. Lalu biarkan Tuhan mengatur pertumbuhan benih menjadi pohon hingga menghasilkan buah.

Tuhan berbagi tugas dengan manusia. Agar beras bisa dimakan, jangan menagih Tuhan supaya Dia mengubahnya menjadi nasi. Manusialah pengubah beras menjadi mener, nasi, upo, bubur atau produk kebudayaan yang lain.

Tuhan sudah sangat bemurah hati menyediakan tanah, air, udara, api benih pepohonan serta bahan baku penopang kehidupan.

Semua bahan baku itu silakan dikelola untuk kemanfaatan manusia dan keberlangsungan kehidupan. Namun, tetap perlu diingat, alam adalah "saudara tua" manusia.

"Pohon bisa hidup tanpa manusia, tapi manusia tidak bisa hidup tanpa pohon", adalah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri.

Kenyataannya, alam sebagai "saudara tua" tidak menjadi etika bersama saat manusia mengelola alam.

Gembelengan

Apalagi sejak era revolusi industri mengubah dunia, manusia kemaruk menghamili alam. Kerusakan alam bukan hanya menyentuh titik keseimbangan yang menjadi hukum utama alam bekerja. Manusia bahkan meracuni udara, kebutuhan paling vital untuk melangsungkan kehidupan.

Sejak revolusi industri hingga di ambang pintu gerbang 4.0, blueprint kemajuan ini dipimpin oleh sikap gembelengan.

Ingat nyanyian tradisional Gundul Pacul? Si kepala plontos alias kepala gundul, semoga tidak menyindir kita yang rajin menebang dan membakar hutan. Ah, apalah arti lirik sebuah lagu, tradisional pula!

Kepala yang plontos tanpa rambut ditikam terik sinar matahari. Betapa sangat panas. Persis hidup kita saat ini, terbakar oleh suhu yang terus meningkat.

Semua ini akibat gembelengan (sembrono, sombong, besar kepala) saat nyunggi wakul (mengemban amanah bagi hajat hidup orang banyak).

Wakul glimpang, wadah nasi pun jatuh ke tanah. Segane dadi sak latar, nasi sebagai simbol kebutuhan pokok, hajat kesejahteraan orang banyak, berserakan di atas tanah. Amanah ini gagal didistribusikan secara adil dan merata.

Simbolisasi yang dikandung nyanyian Gundul Pacul, jujur, dengan pikiran dan hati yang terbuka, bisa menjadi formula untuk membuka perspektif membaca bumi yang tak reda dirundung masalah.

Kebakaran hutan (atau hutan yang dibakar?), polusi udara, pencemaran lingkungan, ozon yang bolong, bukan semata-mata soal etika lingkungan yang dilanggar.

Bahkan, problem yang kini menyerimpung Indonesia: mosi tidak percaya kepada DPR, rusuh di Wamena, hingga seabrek persoalan yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, bermula dari karakter kepemimpinan yang gembelengan.

Kita tengah mengalami darurat kepemimpinan nyaris di segala level dan bidang.

Ironisnya, darurat kepemimpinan selain berlaku pada skala sosial, juga menuding diri kita pada skala individual. Sebagai pribadi kita turut menyumbang "polusi gembelengan" di lingkungan kita masing-masing.

Kita ambil satu fakta. Kualitas udara di sekitar kita semakin memburuk. Pabrik-pabrik menyemprotkan asap ke langit. Kendaraan pribadi makin memadati jalan-jalan. Kandungan konsentrat PM 2,5 di Indonesia meningkat.

Pada Juli 2019, Jakarta "dinobatkan" sebagai kota dengan polusi udara paling tinggi sedunia. Menurut Air Visual, tingkat kualitas udara Jakarta berdasarkan parameter PM 2,5 mencapai 160 mikrogram per meter kubik.

Idealnya, ambang batas PM 2,5 di udara dalam kurun 24 jam, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebesar 25 mikrogram per meter kubik.

Ini persoalan bukan mengancam Jakarta saja. Anda yang tinggal di perdesaan di sebuah kecamatan pinggiran tengah diintai persoalan yang sama. Manusia gembelengan menebar teror bagi manusia yang lain. 

Apakah kita menjadi bagian dari manusia gembelengan yang mengirimkan dua kematian sekaligus, yakni kematian kita sendiri dan kematian orang lain?[]

Jagalan 240919

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun