Gembelengan
Apalagi sejak era revolusi industri mengubah dunia, manusia kemaruk menghamili alam. Kerusakan alam bukan hanya menyentuh titik keseimbangan yang menjadi hukum utama alam bekerja. Manusia bahkan meracuni udara, kebutuhan paling vital untuk melangsungkan kehidupan.
Sejak revolusi industri hingga di ambang pintu gerbang 4.0, blueprint kemajuan ini dipimpin oleh sikap gembelengan.
Ingat nyanyian tradisional Gundul Pacul? Si kepala plontos alias kepala gundul, semoga tidak menyindir kita yang rajin menebang dan membakar hutan. Ah, apalah arti lirik sebuah lagu, tradisional pula!
Kepala yang plontos tanpa rambut ditikam terik sinar matahari. Betapa sangat panas. Persis hidup kita saat ini, terbakar oleh suhu yang terus meningkat.
Semua ini akibat gembelengan (sembrono, sombong, besar kepala) saat nyunggi wakul (mengemban amanah bagi hajat hidup orang banyak).
Wakul glimpang, wadah nasi pun jatuh ke tanah. Segane dadi sak latar, nasi sebagai simbol kebutuhan pokok, hajat kesejahteraan orang banyak, berserakan di atas tanah. Amanah ini gagal didistribusikan secara adil dan merata.
Simbolisasi yang dikandung nyanyian Gundul Pacul, jujur, dengan pikiran dan hati yang terbuka, bisa menjadi formula untuk membuka perspektif membaca bumi yang tak reda dirundung masalah.
Kebakaran hutan (atau hutan yang dibakar?), polusi udara, pencemaran lingkungan, ozon yang bolong, bukan semata-mata soal etika lingkungan yang dilanggar.
Bahkan, problem yang kini menyerimpung Indonesia: mosi tidak percaya kepada DPR, rusuh di Wamena, hingga seabrek persoalan yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, bermula dari karakter kepemimpinan yang gembelengan.
Kita tengah mengalami darurat kepemimpinan nyaris di segala level dan bidang.