Syok teman saya. Ia tidak menyangka peserta didik yang "bau kencur" itu memiliki inisiatif yang canggih. Saya melakukan  "interogasi" kecil-kecilan dengan anak itu. Hasilnya, bentuk soal ujian berbasis android adalah multiple choice.
Bagaimana, hebat bukan? Bahkan sangat-sangat hebat saat pendidikan kita tergiring oleh kesan canggih yang sesaat tapi menyesatkan. Saya benar-benar tidak paham: ujian berbasis android menggunakan bentuk soal multiple choice yang setiap informasi jawabannya telah tersedia begitu sempurna di Google.
Sekolah yang didominasi oleh pengajaran akan terjebak pada parameter penguasaan skill. Sedangkan peserta didik zaman now memiliki skill teknologi yang "getarannya" telah terbangun sejak mereka berada dalam kandungan ibu.
Fakta pengalaman kawan saya menunjukkan betapa masih sangat minim kesadaran berteknologi di kalangan stakeholder sekolah. Kesadaran yang dihidupi oleh keutuhan cara berpikir, ke-jangkep-an sikap berpikir serta keotentikan mengambil keputusan. Softskill terakhir ini akan dimiliki peserta didik kalau sekolah hadir sebagai tempat mendidik.
Kalau sekadar membekali peserta didik dengan kemampuan skill membaca dan menghitung, skill menjawab soal di handphone, skill trik cepat menyelesaikan soal ujian--saran Gede Raka, guru besar Institut Teknologi Bandung, bahwa kita perlu membenahi cara pandang yang memperlakukan sekolah sebagai pabrik, tidak salah.
Jelas sudah, kematian Kantin Kejujuran adalah kematian pendidikan, kematian martabat kemanusiaan.[]
Jombang, 20 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H