Sekitar sepuluh tahun lalu, ramai digalakkan Kantin Kejujuran di sekolah. Program yang mulia ini bertujuan untuk menanamkan perilaku jujur terhadap siswa.Â
Kantin tidak dijaga: siswa membayar dan mengambil uang kembalian sendiri. Kira-kira belum genap satu tahun, 1000 Kantin Kejujuran mengalami kerugian. Barang dagangan habis, tapi uang tidak ada.
Yang pasti, kegagalan menegakkan kejujuran di lingkungan sekolah tempat benih akal-budi disemai, merupakan ironi sekaligus tragedi.
Kenyataan itu semakin menegaskan praktik pengajaran lebih dominan ketimbang pendidikan. Padahal kita terlanjur memasang kepercayaan, memberi nama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengkampanyekan sekolah sebagai jalur utama agar manusia mengenyam pendidikan. Namun, di sisi fakta yang lain, sekolah adalah tempat mengajar bukan tempat mendidik.
Persoalan ini tidak timbul secara mendadak, melainkan akibat dari kontinuasi problematika yang solusinya tidak diselesaikan hingga akar. Sebut saja hal-hal prinsip, misalnya "evolusi konotasi" penggunaan kata guru yang berubah menjadi tenaga pendidik. Kata murid, siswa, berevolusi menjadi peserta didik.
Dahulu kita mengenal Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), lalu berubah menjadi institusi yang terkesan lebih praktis dan teknis: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Sementara, beberapa waktu lalu kita memperingati Hari Guru, bukan Hari Tenaga Kependidikan.
Inkonsistensi penggunaan istilah dalam praktik pendidikan merefleksikan gagap berpikir, gagap bersikap, gagap merespon isu-isu faktual lokal dan global. Praktik pendidikan kita mengalami turbulance yang tidak pernah selesai.
Salah satu kegagapan itu ditampilkan secara telanjang manakala siswa Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah mengikuti ujian berbasis android. Keren dan canggih. Para birokrat pendidikan dan stakeholder sekolah bangga.
Lihatlah kita sanggup menandingi kemajuan teknologi informasi negara maju. Ujian berbasis kertas itu pemborosan. Di zaman milenial siswa harus berpikir maju. Sekolah wajib mengikuti perkembangan teknologi.
Dan lihatlah respon anak-anak milenial yang sebagian dari mereka adalah generasi Alpha. Saat berinteraksi dengan teknologi, cara berpikir mereka melampau generasi sebelumnya, termasuk orang tua, guru dan generasi lama Bapak-Ibu pejabat di lingkungan Kemendikbud dan Kemenag yang thunak-thunuk mengoperasikan handphone.
Nilai ujian berbasis android para peserta didik melesat. Seorang guru Madrasah Ibtidaiyah bercerita kepada saya dengan mata berbinar bangga. Peserta didik binaannya berhasil meraih nilai rata-rata berkategori tinggi. Belum selesai ia menikmati kebanggaan itu, salah satu siswa kelas enam nyeletuk, "Semua jawaban bisa dicari di Google. Anak-anak juga bisa bertanya melalui Whatsapp untuk berbagi jawaban."
Syok teman saya. Ia tidak menyangka peserta didik yang "bau kencur" itu memiliki inisiatif yang canggih. Saya melakukan  "interogasi" kecil-kecilan dengan anak itu. Hasilnya, bentuk soal ujian berbasis android adalah multiple choice.
Bagaimana, hebat bukan? Bahkan sangat-sangat hebat saat pendidikan kita tergiring oleh kesan canggih yang sesaat tapi menyesatkan. Saya benar-benar tidak paham: ujian berbasis android menggunakan bentuk soal multiple choice yang setiap informasi jawabannya telah tersedia begitu sempurna di Google.
Sekolah yang didominasi oleh pengajaran akan terjebak pada parameter penguasaan skill. Sedangkan peserta didik zaman now memiliki skill teknologi yang "getarannya" telah terbangun sejak mereka berada dalam kandungan ibu.
Fakta pengalaman kawan saya menunjukkan betapa masih sangat minim kesadaran berteknologi di kalangan stakeholder sekolah. Kesadaran yang dihidupi oleh keutuhan cara berpikir, ke-jangkep-an sikap berpikir serta keotentikan mengambil keputusan. Softskill terakhir ini akan dimiliki peserta didik kalau sekolah hadir sebagai tempat mendidik.
Kalau sekadar membekali peserta didik dengan kemampuan skill membaca dan menghitung, skill menjawab soal di handphone, skill trik cepat menyelesaikan soal ujian--saran Gede Raka, guru besar Institut Teknologi Bandung, bahwa kita perlu membenahi cara pandang yang memperlakukan sekolah sebagai pabrik, tidak salah.
Jelas sudah, kematian Kantin Kejujuran adalah kematian pendidikan, kematian martabat kemanusiaan.[]
Jombang, 20 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H